PajakOnline.com—Pajak karbon atau pajak emisi karbon (carbon tax) merupakan pajak yang dikenakan terhadap pemakaian bahan bakar berdasarkan kadar karbonnya. Bahan bakar hidrokarbon (termasuk minyak bumi, gas alam, dan batubara). Carbon tax ini juga pajak yang dikenakan pada bahan bakar fosil.
Penerapan pajak karbon ini dapat digunakan untuk retribusi atas emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh bahan bakar tersebut. Pajak karbon juga dianggap sebagai pigouvian tax. Pigouvian tax adalah pajak atas kegiatan ekonomi yang menciptakan eksternalitas negatif.
Penerapan pajak ini membuat pihak yang membeli barang yang terbuat melalui proses produksi padat karbon menanggung biaya tambahan. Karena, pembuatan barang tersebut mengakibatkan kerusakan lingkungan.
Beberapa negara sudah menerapkan carbon tax, pastinya dengan perhitungan yang berbeda-beda. Mulai dari negara Finlandia yang telah menerapkan pajak ini dari tahun 1990, kemudian diikuti Swedia dan Norwegia pada tahun 1991. India menerapkan pajak ini sejak tahun 2010. Lalu, Jepang dan Australia mengikuti pada tahun 2012, kemudian Inggris pada tahun 2013, Tiongkok pada tahun 2017, dan Afrika Selatan pada tahun 2019. Sedangkan di Asia Tenggara, baru Singapura lah yang menerapkan kebijakan pajak ini, tepatnya pada tahun 2019.
Dari negara-negara yang telah menerapkan pajak karbon, penerapan pajak tersebut berdampak pada penurunan emisi sekaligus penambahan pemasukan negara dari penerimaan pajak. Tarif pajak ini umumnya dikenakan per ton CO2 yang dihasilkan dari suatu kegiatan produksi, mulai dari US$1 per ton hingga US$139 per ton.
Kebijakan pajak karbon ini masih dipersiapkan aturan pajaknya. Baru-baru ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani, mengungkapkan pihaknya masih terus mempersiapkan aturan pajak karbon guna memperkuat bursa karbon. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun menargetkan pasar bursa karbon akan mulai di Indonesia pada September 2023.
Terkait penerapan pajak ini sebenarnya Indonesia telah menunda hingga dua kali dalam penerapan pajak karbon dengan alasan masih memerlukan waktu mematangkan kebijakan. Pajak karbon sendiri merupakan amanat Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disahkan pada 7 Oktober 2021.
Penerapan pajak karbon ini sebenarnya memberikan beberapa dampak positif, seperti dapat menurunkan emisi gas rumah kaca, menaikkan pendapatan pemerintah dari segi penerimaan pajak, mendorong konsumen dan pengusaha lebih hemat energi dan berinvestasi pada teknologi hemat energi, serta munculnya kesederhanaan administrasi dalam pemungutan pajak. Pajak ini juga akan menciptakan program climate change.
Namun, Di sisi lain, penerapan pajak ini dapat menimbulkan kenaikan harga lebih tinggi karena bertambahnya biaya produksi. Karena tingginya harga barang akan membuat daya beli masyarakat rendah, serta pengusaha sulit bersaing di pasar ekspor. (Azzahra Choirrun Nissa)