PajakOnline.com—Cukai Hasil Tembakau (CHT) atau cukai rokok menjadi salah satu sumber pemasukan negara sejak masa pemerintahan kolonial Belanda. Pada saat itu, Staatsblad No.517 Tahun 1932 beserta perubahannya menjadi dasar hukum pemungutan CHT. Setelah merdeka, pemerintah Indonesia melanjutkan pemungutan CHT serta terus melakukan penyesuaian kebijakan. Seiring dengan perkembangannya, kemudian pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan UU No.39/2007 atau UU Cukai.
Berdasarkan undang-undang tersebut, hasil tembakau yang dibuat di Indonesia dikenakan cukai berdasarkan sistem tarif advalorem dengan tarif paling tinggi 275% dari harga jual pabrik atau 57% dari Harga Jual Eceran (HJE).
Namun, tarif cukai dapat diubah dari persentase harga dasar (advalorem) menjadi jumlah dalam rupiah untuk setiap satuan barang kena cukai (spesifik) atau sebaliknya penggabungan dari keduanya. Untuk itu, ketentuan lebih lanjut tentang besaran tarif cukai serta perubahan tarif diatur dengan peraturan menteri keuangan (PMK).
Kementerian Keuangan telah beberapa kali merilis PMK yang mengatur tentang tarif CHT. Hasil akhirnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerbitkan PMK 192/2021 serta PMK 193/2021. Pada kedua beleid tersebut mengatur tentang kebijakan tarif CHT yang akan berlaku efektif mulai Januari 2022 lalu.
Selain mengatur kenaikan tarif CHT per batang, kedua PMK tersebut juga mengatur tentang batasan HJE atau HJE minimum. Tak hanya itu, PMK mengenai tarif CHT biasanya juga mengatur tentang harga transaksi pasar (HTP). Mengacu pada PMK 192/2021 dan PMK 193/2021 HJE adalah harga yang ditetapkan sebagai dasar penghitungan besarnya cukai.
Dalam PMK 192/2021, tarif CHT ditetapkan dengan menggunakan jumlah dalam rupiah untuk setiap satuan batang atau gram hasil tembakau. Besaran tarif CHT itu didasarkan pada jenis hasil tembakau, golongan pengusaha, dan batasan HJE per batang atau gram. Adapun yang dimaksud dengan batasan HJE per batang atau gram adalah rentang HJE per batang atau gram atas masing-masing jenis hasil tembakau produksi golongan pengusaha pabrik hasil tembakau atau importir yang ditetapkan menteri keuangan.
Sementara itu, HJE dalam PMK 193/2021 yang mengatur tarif cukai untuk rokok elektrik dan hasil pengolahan tembakau lainnya (HTPL), merupakan HJE minimum yang ditetapkan menteri keuangan. Namun, HJE minimum ini biasanya menjadi batasan yang harus diambil pengusaha industri hasil tembakau apabila ingin menjual produknya di pasaran.
Selain HJE, pembicaraan mengenai tarif CHT juga lekat dengan Harga Transaksi Pasar (HTP). Adapun HTP adalah besaran harga transaksi penjualan yang terjadi pada tingkat konsumen akhir. Merujuk PMK 192/2021 pengusaha dapat menetapkan HTP lebih rendah ketimbang HJE, sepanjang tidak lebih rendah dari 85% HJE. Masih berdasarkan PMK 192/2021, pejabat Bea dan Cukai akan melakukan pemantauan HTP di wilayah kerja masing-masing pada periode pemantauan tertentu. Pemantauan HTP tersebut dilakukan dengan membandingkan HTP dengan HJE yang tercantum dalam pita CHT.
Demikian, pemantauan HTP dilaksanakan untuk memastikan agar HTP tidak melampaui batasan HJE per batang atau gram di atasnya atau kurang dari 85% dari HJE yang tercantum dalam pita CHT. Mengutip laman resmi DJBC, pemantauan HTP salah satunya dimaksudkan untuk menciptakan persaingan industri rokok yang sehat.(Kelly Pabelasary)