PajakOnline.com— Pertemuan Menteri Keuangan G20 di Arab Saudi tahun 2020 ini membahas perpajakan ekonomi digital secara internasional. Pesan yang ingin disampaikan dari pertemuan Menteri keuangan G20 itu adalah perusahaan ekonomi digital raksasa dunia tidak lagi bisa menghindari dari pengenaan pajak di satu negara meski mereka tidak hadir secara fisik di negara tersebut.
Di Indonesia tercinta, Google telah mewujudkannya dengan memulai pengenaan PPN 10% bagi konsumennya di Indonesia sejak 1 Oktober 2019. Kini, kita tunggu lagi kerelaan pelaku ekonomi digital berskala global lainnya untuk segera patuh terhadap regulasi perpajakan di wilayah negara operasinya.
Baca Juga :
Pertemuan G20 Bahas Pajak Digital
Google menyebut, pengenaan pajak ini merupakan bentuk kepatuhan perusahaan kepada peraturan pajak di Indonesia.
Google melalui PT Google Indonesia mengenakan PPN 10% kepada pemasang iklannya. Ini merupakan sinyal positif kontribusi Google di negara ini.
Sebab, mereka sudah cukup lama menikmati kue iklan melalui fasilitas Google Ads yang dimilikinya. Pemerintah kita telah mendesak agar perusahaan ekonomi digital skala internasional seperti Google, Facebook, atau Amazon, dikenakan pajak di negara wilayah operasi mereka.
Namun, mereka selalu menolak. Alasannya mereka tak memiliki kantor secara fisik di negara yang bersangkutan meskipun dalam praktiknya, mereka tetap menerima advertising, bahkan bentuk adsense itu kini sudah lebih variatif. Pajak tidak terpungut. Potensi tax right Indonesia pun menjadi hilang.
Seperti Indonesia, beberapa negara lain juga mengeluhkan hal yang sama, hilangnya potensi tax right mereka. Dalam pertemuan Menteri Keuangan Kelompok Ekonomi G20 tahun sebelumnya di Fukuoka, Jepang, masalah ini juga sempat menjadi bahasan. Akhirnya, pertemuan itu pun sepakat berencana membuat kerangka baru perpajakan ekonomi digital secara internasional.
Kebijakan Google yang mewajibkan pembayaran PPN ini merupakan hal baru di Indonesia, yang memang belum mengenal pajak digital. Sebelumnya Google, termasuk Facebook, tidak mengenakan kewajiban pajak konvensional seperti ini. Dengan kata lain, memasang iklan di Google atau Facebook tidak perlu membayar PPN.
Transaksi Wajib Pajak
Transaksi iklan di Google juga merupakan transaksi wajib pajak di Indonesia dengan Google yang menjadi wajib pajak Singapura. Karena itu, dalam transaksi ini berlaku P3B (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda) Indonesia-Singapura. Adapun PT Google Indonesia hanya bertindak sebagai agen pemasaran di Indonesia.
Dalam keterangan tertulisnya itu, Google mengatakan pengenaan PPN 10% ini mewajibkan para pemasang iklan untuk mengirim slip bukti potong pajak jika ingin memotong pajak pemotongan 2% dari pembayaran iklannya ke Google.
Hal tersebut dilakukan untuk menghindari saldo terutang di akun Google Ads milik pemasang iklan. “Sementara untuk pelanggan dengan status pengoleksi PPN, harus memberi Google bukti pembayaran PPN (Surat Setoran Pajak/SSP) dengan mengirimkan dokumen fisik yang asli dan ditandatangani,” sebutnya.
Sayangnya kebijakan Google ini belum diikuti oleh Facebook, Instagram dan Youtube. Hingga kini, masyarakat Indonesia yang hendak memasang iklan di Facebook atau Youtube tidak membayar pajak. Facebook atau Youtube juga tidak mewajibkan pemasang iklannya untuk membayar pajak.
Saat ini, Google Indonesia, telah terdaftar sebagai Wajib Pajak (WP) dan membayar pajak ke pemerintah Indonesia.
Hanya saja, UU perpajakan di Indonesia saat ini baru mewajibkan pembayaran pajak bagi perusahaan yang memiliki kantor di Indonesia atau physical presence. Sehingga, Indonesia baru bisa menagih pajak dari kantor Google Indonesia yang ada di Jakarta.
Google Indonesia telah membayar Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
“Sekarang kan aturan pajak masih physical presence, jadi kami kembali ke hukum pajak di Indonesia.”
Suryo Utomo, Direktur Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan.
Belum diketahui persis berapa pendapatan iklan Google di Indonesia. Namun, saat Google Indonesia hendak diperiksa pajaknya beberapa tahun lalu, sempat terungkap kalau Google meraup paling sedikit Rp5 triliun dari Indonesia.
Bagi pelaku ekonomi digital transnasional seperti Google, Facebook, Youtube, dan sebagainya, penghindaran pengenaan pajak di wilayah operasi aplikasinya sudah tidak bisa dihindari.
Sementara itu, pengamat perpajakan Abdul Koni menilai komitmen Google untuk mengikuti ketentuan perpajakan di Indonesia patut diapresiasi. Hal ini semoga diterapkan juga oleh yang lainnya seperti Youtube, Instagram, Faccebook dan lainnya termasuk marketplace.
“Namun, Pemerintah juga perlu mendefinisikan ulang maksud dari Badan Usaha Tetap (BUT) agar hak pemajakan atas penghasilan dari korporasi yang secara fisik berkantor di luar wilayah Indonesia namun memperoleh penghasilan dari Indonesia dapat dilaksanakan di Indonesia,” kata Abdul Koni, Managing Partners Pajak Online Consulting Group.
Wujud kompromi dari Google tentu patut diapresiasi meskipun masih banyak aspek masalah perpajakan yang masih perlu dibicarakan dengan pemerintah setempat berkaitan dengan potensi tax right tersebut.
#PajakOnline #BanggaBayarPajak