Oleh Raden Agus Suparman
PajakOnline.com—Menurut bahasa, hibah adalah pemberian sukarela dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain. Hibah pada umumnya berupa harta tidak bergerak walaupun sebenarnya tidak ada aturan hibah tidak boleh dalam bentuk uang.
Sebagai pemberian, hibah juga boleh diberikan kepada siapa saja. Tuan A memberikan hibah ke Tuan B. Walaupun A dan B tidak ada hubungan keluarga, menurut hukum “umum” boleh saja dilakukan.
Namun, berbeda dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan. Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa pemberian hibah bagi penerimanya merupakan penghasilan yang dikecualikan dari objek Pajak. Hal ini diatur di Pasal 4 ayat (3) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Sebaliknya dari sisi pemberi hibah, pemberian hibah bukan biaya fiskal atau pengurang penghasilan bruto. Hal ini berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf g Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Namun demikian, hibah yang dimaksud Pasal 4 ayat (3) huruf a Undang-Undang Pajak harus memenuhi beberapa syarat. Syarat pertama, bahwa hibah hanya boleh dilakukan dalam satu keluarga.
Keluarga yang dimaksud bukan keluarga besar, tetapi keluarga sedarah. Jadi, hibah dari mertua ke mantu tidak termasuk penghasilan yang dikecualikan. Jika terjadi hibah dari mertua ke mantu, maka mantu tetap harus membayar pajak penghasilan sejumlah nilai hibah.
Syarat kedua, hibah harus diberikan satu derajat, baik satu derajat ke bawah maupun ke atas. Hibah dari anak ke bapak termasuk dalam pengertian ini. Begitu juga dengan hibah dari bapak ke anak.
Berbeda jika hibah dari kakek ke cucu. Hibah dari kakek ke cucu tetap merupakan objek pajak dan cucu wajib bayar pajak penghasilan. Karena itu, supaya hibah dari kakek ke cucu dikecualikan dari objek pajak, maka harus dibuat dua kali hibah yaitu hibah dari kakek ke bapak, selanjutnya hibah dari bapak ke anak.
Syarat ketiga, hibah harus dibuatkan akta hibah. Karena itu, jika kakek akan memberikan hibah ke cucu, maka kakek harus membuat dua akta hibah di notaris yang dipercaya. Syarat keempat, harta yang dihibahkan harus sudah dilaporkan di SPT Tahunan pemberi hibah.
Syarat ini tidak ada di Undang-Undang Pajak Penghasilan. Syarat keempat merupakan pembuktian bahwa harta hibah sudah dikenai pajak penghasilan.
Bayangkan jika Tuan Agus mendapatkan penghasilan dari penjualan bitcoin senilai Rp10 miliar. Untuk menghindari pajak, Tuan Agus langsung menghibahkan uang senilai Rp10 miliar tersebut ke anak Tuan Agus.
Jika tidak ada syarat keempat, maka Tuan Agus lebih memilih membayar notaris untuk membuat akta hibah daripada Tuan Agus membayar pajak penghasilan. Berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan, penghasilan diatas Rp5 miliar tarifnya 35%. Bandingkan dengan tarif akta hibah di notaris, mungkin masih di bawah 5%.