PajakOnline.com—Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) merilis panduan berjudul Minimum Tax Implementation Handbook (Pillar Two) untuk para yurisdiksi yang hendak mengadopsi pajak minimum global.
OECD mendefinisikan pajak minimum global sebagai pajak minimal yang harus dibayarkan bagi setiap perusahaan multinasional domestik yang mendapatkan penghasilan dari luar negeri. Dengan adanya aturan ini bertujuan untuk memastikan perusahaan multinasional domestik membayar tingkat pajak minimumnya dengan kantor pusat dan yurisdiksi di manapun mereka beroperasi.
Ketentuan pajak minimum global berisi ketentuan tarif sebesar 15 persen. Kebijakan ini tercantum dalam konsensus ‘Pilar II: Global Anti Base Erosion (GloBE)’ yang disepakati oleh negara-negara anggota Inclusive Framework pada Oktober tahun 2021. Pilar II menegaskan, korporasi multinasional dengan penerimaan di atas 750 juta euro per tahun wajib membayar pajak dengan tarif minimum sebesar 15 persen di manapun perusahaan beroperasi.
Jika tarif pajak efektif perusahaan multinasional pada suatu yurisdiksi tidak mencapai 15%, top-up tax berhak dikenakan oleh yurisdiksi tempat korporasi multinasional bermarkas. Pengenaan top-up tax dilakukan berdasarkan income Inclusion Rule (IIR).
Berikut ada dua aturan yang saling berkaitan dalam mengadopsi pajak minimum global:
1. Undertaxed Payment Rule (UPTR), yaitu ketentuan yang berlaku dalam hal ketentuan IIR tidak dapat diterapkan karena parent entity berada di low-tax jurisdiction atau tidak menerapkan IIR dalam ketentuan domestiknya.
2. IIR, yakni ketentuan yang mengharuskan induk dari suatu grup multinasional entreprise (MNE) atau bagian dari grup MNE untuk membayar pajak tambahan (top-up) atas anak usahanya yang dikenakan pajak efektif kurang dari 15 persen.
Manfaat menerapkan pajak minimum global bagi Indonesia
1. Masing-masing negara akan mendapat haknya karena telah melakukan pencegahan penggerusan basis pemajakan dan pergeseran laba dari perusahaan multinasional
2. Pajak minimum global akan membuat perusahaan raksasa, seperti Apple, Microsoft, Amazon, Facebook hingga Google tidak bisa lagi menghindari pajak dengan mendirikan perusahaan di yurisdiksi pajak rendah
3. Pertumbuhan ekonomi bakal meningkat yang berimplikasi pada optimalisasi penerimaan pajak
4. Investasi akan terdistribusi secara merata di seluruh negara
5. Insentif perpajakan akan dialihkan untuk peningkatan anggaran dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, seperti pembangunan infrastruktur maupun sumber daya manusia (SDM) yang andal dan berdaya saing.
Direktur Perpajakan Internasional DJP Mekar Satria Utama memastikan, kesiapan Indonesia dalam mengadopsi pajak minimum global melalui payung hukum Pasal 32 A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Berdasarkan aturan ini Pemerintah Indonesia berwenang untuk:
1. Pemerintah Indonesia dapat menerima bantuan penagihan pajak dari negara mitra dan kerja sama perpajakan lainnya sesuai dasar hukum untuk menerapkan pajak
2. Membentuk dan/atau melaksanakan perjanjian dan/atau kesepakatan di bidang perpajakan dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra, baik secara bilateral maupun multilateral dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, pencegahan penggerusan basis pemajakan dan pergeseran laba, pertukaran informasi perpajakan
Sebagai turunan UU HPP, pengenaan pajak minimum global turut disiapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022.Pasal 54 PP Nomor 55 Tahun 2022 menyatakan bahwa ketentuan mengenai pengenaan pajak minimum global akan diatur dalam PMK (peraturan menteri keuangan)—saat ini tengah disusun oleh pemerintah.
Target Indonesia menerapkan pajak minimum global
Mekar menyampaikan, berikut lini masa yang telah disusun pemerintah terkait penerapan pajak minimum global:
1. Tahun 2023, penyusunan PMK sekaligus menaksir dampak terhadap penerimaan dan insentif pajak;
2. Tahun 2024, implementasi IIR; dan
3. Tahun 2025, implementasi UTPR. (Wiasti Meurani)