PajakOnline.com—Menaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), BPJS Kesehatan adalah sebuah hal yang pasti harus dilakukan oleh Pemerintah. Terkait kenaikan iuran peserta mandiri (yaitu peserta PBPU dan BP) ini termuat dalam amanat Pasal 27 ayat (2) UU SJSN dan Pasal 38 ayat (1) Perpres No. 82 Tahun 2018. Amanat kenaikan ini pun diatur di perpres-perpres sebelumnya, seperti perpres No 19 Tahun 2016 dan Perpres 111 Tahun 2013.

Koordinator Advokasi BPJS Watch
Pasal 27 ayat (2) UU SJSN yang mengamanatkan : “Besarnya iuran jaminan kesehatan untuk peserta yang tidak menerima upah ditentukan berdasarkan nominal yang ditinjau secara berkala.” Dan Pasal 38 ayat (1) Perpres No. 82 Tahun 2018 yang isinya : “Besaran Iuran ditinjau paling lama 2 (dua) tahun sekali.”
Jadi kenaikan iuran adalah hal biasa dan memang harus dilakukan oleh Pemerintah. Sejak beroperasi 2014 dan mengacu pada ketentuan hukum di atas memang Pemerintah sudah menaikkan iuran JKN di tahun 2016 yaitu paling lama 2 tahun sejak 2014, itu sudah betul, walaupun waktu itu kenaikan iurannya tidak sesuai rekomendasi DJSN, yaitu iuran PBI yang direkomendasi DJSN sebesar Rp36.000 per orang per bulan tetapi yang ditetapkan Rp23.000. Keputusan ini yang berkontribusi pada terciptanya defisit tiap tahun hingga 2019 lalu. Kenaikan iuran di 2016 ini dituangkan dalam Perpres No 19 Tahun 2016.
Kenaikan iuran peserta mandiri di 2016 pun tidak luput dari protes masyarakat dan DPR. Akhirnya Pemerintah mendengar protes masyarakat dan DPR, dengan mengeluarkan revisi Perpres No 19 Tahun 2016 yaitu Perpres No 28 Tahun 2016, dengaan menurunkan kembali iuran peserta kelas 3 mandiri dari Rp30.000 ke nilai semula yaitu Rp25.500. Revisi ini keluar hanya sebulan sejak Perpres No 19 Tahun 2016 dikeluarkan. Memang sangat responsif Pemerintah pada saat itu.
Setelah kenaikan iuran 2016 seharusnya Pemerintah, mengacu pada ketentuan-ketentuan di atas, menaikkan lagi iuran JKN di 2018. Diamanatkan paling lama 2 tahun. Tapi Pemerintah tidak menaikkan iuran tersebut. Alasannya hanya satu yaitu takut gaduh karena 2018 adalah tahun yang dekat dengan Tahun Pemilu 2019.
Waktu itu sudah masa kampanye. Kenaikan iuran digeser paska Pemilu dengan lahirnya Perpres No 75 Tahun 2019.
Ya alasan tersebut dimengerti secara politik electoral supaya bisa mulus melaju lagi. Alasan pergeseran waktu kenaikan iuran JKN dari 2018 ke paska Pemilu, ya karena alasan electoral saja, tetapi tentunya Pemerintah tidak mungkin menyatakan hal itu ke publik. Hal itu biasa dan tidak perlu diperdebatkan.
Akibat tidak dinaikkannya iuran JKN di 2018 pemerintah menggelontorkan tambahan dana dari APBN ke Pos DJS BPJS Kesehatan sebesar Rp10,2 Triliun yang dibayarkan dalam dua termin. Ya ini konsekuensi APBN karena diamanatkan UU BPJS. Walaupun sudah digelontorkan Rp10,2 Triliun faktanya utang klaim RS yang belum dibayarkan ke RS masih ada Rp9,1 Triliun sehingga utang BPJS Kesehatan ke RS ini terbawa ke tahun 2019, sehingga waktu itu diperkirakan defisit 2019 mencapai Rp32 Triliun.
Ini Bu Menkeu yang bilang ya. Jadi APBN sudah setor Rp10,2 T, masih besar juga utang yang terbawa ke 2019. Konsekuensi yang harus dipikul Pemerintah. Dengan defisit yang besar di 2018 tersebut, Pemerintah tidak menyebut tentang kenaikan iuran JKN.
Ya, Pemerintah punya alasan untuk melanggar regulasinya sehingga tidak menaikkan iuran paling lama 2 tahun tersebut karena kondisi dan situasi 2018, Tetapi saat ini dengan situasi dan kondisi yang sangat sulit bagi rakyat karena pandemi Covid-19 Pemerintah malah memaksakan kenaikan iuran peserta mandiri kelas 1 dan 2 di 1 Juli 2020 dan kelas 3 pada 1 Januari 2021.
Mengapa ketika ada pertimbangan pemilu Pemerintah tidak menaikkan iuran JKN tetapi ketika ada masalah kemanusiaan karena pandemi Covid-19 yang menghantam seluruh sendi kehidupan masyarakat sehingga banyak masyarakat yang jatuh ekonominya Pemerintah tetap memaksakan menaikkan iuran JKN. Saya kira Pemerintah harus fair dalam melihat situasi.
Saya katakan di atas bahwa kenaikan iuran itu menjadi sebuah “keniscayaan” karena regulasi mengaturnya, tetapi seharusnya kenaikan iuran JKN itu dikontekskan dengan kondisi yang ada saat ini. Pemerintah mengkontekskan tahun 2018 sebagai tahun politik, ya itu sah-sah saja, tetapi kenapa tega menaikkan iuran di masa susah saat ini.
Baca Juga: Iuran BPJS Naik Lagi, Rakyat Makin Susah
Naikkanlah iuran JKN pada saat Covid-19 sudah selesai dari bumi Indonesia ini dan ekonomi masyarakat sudah membaik, sehingga masyarakat bisa membayar iuran JKN dengan baik. Kondisi saat ini daya beli masyarakat sedang turun drastis, tentunya kenaikan iuran JKN akan membuat masyarakat peserta mandiri akan kesulitan membayar iuran (peserta non aktif semakin meningkat) sehingga hak konstitusional masyarakat peserta mandiri tidak bisa digunakan karena JKN tidak menjamin lagi.
Masa sih tega Pemerintah membiarkan hak konstitusional kesehatan rakyat hilang hanya karena masyarakat tidak mampu bayar JKN di masa pandemi Covid-19 ini.
Menganalisis Cash Flow 2020
Saya coba menghitung prediksi cash flow DJS BPJS Kesehatan di 2020 ini. Pada presentasi Dirut BPJS Kesehatan di Komisi IX DPR RI beberapa waktu lalu dipaparkan RKAT Pendapatan iuran DJS BPJS Kesehatan di 2020.
Kemenkeu dan Kemenkes telah menetapkan RKAT DJS 2020 BPJS Kesehatan yaitu di posisi pendapatan iuran sebesar Rp137,66 Triliun (T), yang terdiri dari Pendapatan Iuran dari PBI APBN Rp. 48,78 T, PPU Pemerintah Rp26,16 T, PPU Badan Usaha Rp30,94 T, PBPU Rp14,22 T dan Bukan Pekerja (BP) Rp1,8 T, dan PBI APBD (atau Penduduk yang didaftarkan Pemda) Rp15,76 Triliun.