PajakOnline.com—Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Suryo Utomo menyatakan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada 2025 mempertimbangkan politik dan faktor ekonomi.
“Berkenaan dengan adanya transisi pemerintahan maka perlu fatsun politik untuk mengomunikasikan terkait dengan tarif PPN yang 12% ini,” kata Suryo Utomo, dalam Konferensi Pers APBN Kita Edisi Maret 2024, Senin (25/3/2024).
Kondisi ekonomi domestik juga akan turut dipertimbangkan sebelum pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif PPN.
“Kami terus mengkaji kondisi ekonomi yang ada, sekeliling dari kegiatan-kegiatan ekonomi yang sangat berpengaruh terhadap peningkatan PPN ini ke depan. Kami masih menunggu kira-kira perkembangannya di diskusi berikutnya,” kata Suryo.
Komisi XI DPR telah mengusulkan kepada Kemenkeu untuk menunda kenaikan tarif PPN meski kebijakan itu telah diamanatkan dalam UU PPN s.t.d.t.d UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Anggota Komisi XI Andreas Eddy Susetyo mengatakan. kenaikan tarif PPN berpotensi menurunkan daya beli masyarakat terutama kalangan kelas menengah.
“Kalau golongan menengah digebuk lagi dengan kenaikan PPN, ini akan memperlambat pertumbuhan ekonomi yang nantinya juga berdampak pada penerimaan negara,” katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi XI Amir Uskara menilai kelas menengah akan menjadi kelompok yang paling rentan terdampak kenaikan tarif PPN. Sebab, masyarakat kelas menengah tidak mendapatkan bansos layaknya masyarakat miskin.
“Masyarakat yang berada pada posisi menengah dengan penghasilan Rp4 juta sampai Rp8 juta itu kan tidak tersentuh oleh kebijakan-kebijakan, ini yang paling berat,” kata Amir.
Pemerintah sesungguhnya berwenang untuk mengubah tarif PPN menjadi paling rendah 5% dan maksimal 15% melalui peraturan pemerintah (PP). Tarif bisa diubah lewat PP setelah dibahas bersama dengan DPR pada saat penyusunan RAPBN.