PajakOnline.com—Mayoritas pelaku usaha melakukan slow down dan tiarap di tengah pandemi corona atau Covid-19. Mereka mengaku tidak bisa optimal dalam melakukan kegiatan bisnis karena adanya keterbatasan. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), salah satunya, di antara keterbatasan itu membuat transaksi bisnis berjalan stagnan. Akibatnya, kebanyakan pengusaha dalam kondisi sulit.
“Kami sebagai pengusaha tidak bisa melakukan hal-hal yang produktif di masa pandemi ini. Kami berharap badai segera berlalu,” kata Agung Suryamal mantan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Barat dalam acara Webinar Nasional bertema Insentif Pajak Dapatkah Menjadi Solusi Pengusaha Saat Krisis di Jakarta, Rabu (20/5/2020).
Agung memaklumi bahwa beban pemerintah sangat berat. Namun, dia mengharapkan pemerintah dapat terus mendukung para pelaku usaha. BUMN, perbankan dapat menyatukan visi untuk membantu dunia usaha. Perbankan dapat melakukan reschedule kredit. PLN dapat membantu menurunkan tarif listrik, karena beban industri berat.Pertamina dapat menurunkan harga BBM.
“Krisis ini lebih berat dari krisis yang terjadi tahun-tahun sebelumnya (krisis 1998 dan 2008). Dulu, saat krisis pengusaha menengah dan besar yang terpuruk. Kini, semuanya terpuruk,” kata Agung.
Ketua Umum Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) DKI Jakarta Sarman Simanjorang membenarkan pernyataan Agung Suryamal. “Di masa pandemi ini kita semua sudah 4 L yakni Lesu, Lelah, Letih, dan Lemah,” kata Sarman.
Ada perumpamaan, tambah Sarman, dalam kondisi normal biasa, kita semua yang membayar pajak. Namun, dalam kondisi pandemi, gantian pemerintah yang bayarin kita. Sesuai tagline Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Pajak Kita untuk Kita.
Ketua Umum Relawan Indonesia Bersatu Lawan Covid-19 Sandiaga Uno mencermati, krisis yang kita alami sekarang belum pernah terjadi di era modern Indonesia, dan tidak pernah diperkirakan sebelumnya. Semuanya tidak siap mengalami krisis ini.
Menurut Sandi, Pemerintah telah hadir untuk membantu rakyatnya dengan mengeluarkan policy response (kebijakan responsif), breathing room (ruang untuk bernapas) yang patut kita apresiasi bersama.
Namun, bukan hanya pemerintah, sambung Sandi, kita semua juga harus berperan, bergotong-royong, tolong-menolong, bergandengan tangan untuk saling membantu, menguatkan tenun kebangsaan kita.
“Di masa sulit ini, masyarakat butuh bantuan likuiditas dengan pengelolaan infaq sebagai salah satu solusinya. Adanya Bank Infaq sebagai Islamic Social Finance perannya akan sangat luas ke depan,” kata Sandi yang juga Ketua Dewan Pembina Bank Infaq.
Dalam krisis yang unprecedented (belum pernah terjadi sebelumnya), lanjut Sandi, yang perlu mendapatkan perhatian bersama adalah seberapa jauh daya tangkal terhadap meningkatnya angka pengangguran. “Bagaimana caranya kita menyetop PHK, sehingga masyarakat di bawah ini masih memiliki pendapatan, penghasilan,” kata Sandi.
Sementara itu, pengamat perpajakan dari PajakOnline Consulting Group Abdul Koni mengatakan, pajak yang statusnya menjadi beban dan kewajiban adalah Pajak Penghasilan (PPh). Pajak penghasilan objeknya adalah penghasilan.
Di masa pandemi, Pemerintah sudah membuat skenario berat dan sangat berat. Artinya, pemerintah sudah mengakui pandemi berdampak buruk pada dunia usaha yakni penghasilan para pelaku usaha akan turun.
Untuk mempertahankan kelangsungan usahanya, maka pengusaha ada yang terpaksa melakukan PHK. Ini dilakukan karena beban pengusaha tidak turun, yakni fix cost pegawai atau karyawan, maka bagi pengusaha, yang terjadi adalah penghasilan turun tapi beban kewajiban pajaknya tidak turun.
Beban pajak yang tidak berkurang ini sangat dirasakan bagi wajib pajak badan (WP) atau orang pribadi di luar UMKM. Bagi WP yang menggunakan tarif pajak pasal 17 maka dasar pengenaan PPh itu berdasarkan laba bersih fiskal tahun sebelumnya. Artinya, beban pajak tidak berkurang bagi WP tersebut.
Padahal, saat pandemi ini hampir semua wajib pajak mengalami kesulitan keuangan. “Karena mekanisme pembayaran kewajiban pajak bagi WP yang menggunakan tarif pasal 17 adalah melalui angsuran PPh Pasal 25, maka tidak serta merta kewajiban beban pajaknya turun. Namun pemerintah telah memberikan pengurangan angsuran sebesar 30% dari yang seharusnya dibayar, tetapi tidak mengurangi beban pajaknya bagi WP non UMKM,” kata Koni, Managing Partners PajakOnline Consulting Group.
Koni mengatakan, pemerintah sangat memerhatikan UMKM, tetapi juga jangan melupakan para pelaku usaha non UMKM yang sama susahnya. Sama sulitnya di tengah pandemi. Kendati UMKM menjadi garda terdepan perekonomian nasional, namun sektor usaha di luar UMKM juga cukup banyak menyerap tenaga kerja.
Bagaimana dengan kriteria wajib pajak tersebut, apakah mereka bisa mendapatkan keringanan pajak?
“Ada solusi, wajib pajak punya hak untuk mengajukan permohonan pengurangan angsuran. Namun kadang di lapangan, ada sisi subyektivitasnya. Ketika wajib pajak membuat proyeksi penurunan, tapi belum tentu diterima DJP,” kata Koni.
Jadi, relaksasi pajak bisa dikatakan belum menyeluruh, tidak semua WP badan atau orang pribadi yang punya penghasilan Rp4,8 miliar per tahun itu mendapatkan insentif pajak. Beban pajak hanya dimundurkan ke belakang, tidak dikurangi.
Di sisi lain, semakin banyak pelaku usaha di luar UMKM yang juga gulung tikar, yang pada akhirnya meningkatkan jumlah pengangguran.
“Sampai kapan pandemi ini berlangsung? Sampai sejauhmana mereka (pengusaha non UMKM) ini bisa bertahan,” kata Koni.
Oleh karena itu, pemerintah, sambung Koni, dapat mempertimbangkan untuk mengurangi beban pajak bagi wajib pajak di luar UMKM ketika pandemi ini diprediksi masih berlangsung lama.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama mengatakan, untuk wajib pajak di luar UMKM selain pengurangan angsuran tarif 22% dan 30%, sebenarnya mereka juga bisa menggunakan pasal 31 untuk pengurangan angsuran 50%. Diskon angsurannya habis-habisan, lebih besar dari diskon supermarket,” kata Yoga.
Yoga menambahkan, melihat skema pemerintah, seluruh “obat” untuk menangani pandemi ini sudah dikeluarkan, antara lain, penempatan dana pemerintah di perbankan untuk membantu sektor usaha terdampak pandemi, keringanan angsuran kredit, pemberian bantuan sosial, bantuan langsung tunai, dan insentif lainnya,” kata Yoga.
“Obatnya harus tepat. Jangan pusing dikasih obat pegel. Tapi kalau kita lihat skema pemerintah. Ini sepertinya semua obat dikeluarkan. Mudah-mudahan yang sakit bisa terobati semuanya,” kata Yoga.
Mengenai harapan dunia usaha, agar pemerintah dapat mengurangi beban para wajib pajak di tengah pandemi, Yoga mengatakan, wajib pajak dapat membuat permohonan langsung kepada DJP. Mengenai unsur subyektivitas yang masih dirasakan dalam pertimbangan pengajuan permohonan keringanan pajak, Yoga mengatakan, akan berkurang unsur itu karena pandemi ini.”Memang tidak semuanya bisa di-cover, karena penerimaan pajak ini masih dibutuhkan negara,” kata Yoga.
Selesai.
Webinar Nasional Insentif Pajak Dapatkah Menjadi Solusi Pengusaha Saat Krisis telah berlangsung di Jakarta pada hari Rabu 20 Mei 2020 bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional.
Webinar Nasional ini hasil kolaborasi PajakOnline.com bekerja sama Bank Infaq serta Mitra Sakti Sinergi, dan para mitra Bank Infaq yakni Bank Syariah Harta Insan Karimah, dan Gerakan Masyarakat Wirausaha (Gemawira).
Sebagai narasumber, Sandiaga Uno, Hestu Yoga Saksama, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan dan Abdul Koni, Managing Partners PajakOnline Consulting Group, dengan moderator Laja Lapian, Dewan Pembina Bank Infaq.
Baca Juga Tulisan Sebelumnya: