PajakOnline.com—Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh khalayak umum tidak dikenakan pajak. Hal tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak atas Penjualan Barang Mewah (PPnBM) Pasal 4A ayat (2) huruf b dan diubah dalam Undang-Undang No 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan cluster Perpajakan pasal 16B.
Barang tersebut seperti beras, gabah, jagung dan daging. Daging yang dimaksud dalam ketentuan ini yakni daging segar tanpa diolah, tetapi telah melalui proses sembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, sehingga ketika membeli daging segar di pasar ataupun supermarket daging tersebut belum diolah maka tidak dikenakan pajak.
Berbeda jika daging tersebut diolah menjadi nuget, sosis, bakso atau sejenisnya, maka daging tersebut dikenakan pajak atau PPN sesuai dengan tarif yang berlaku. Daging sapi yang diolah menjadi salah satu sasaran untuk dikenakan pajak sembako, dalam pengenaan pajak ini dikarenakan harga atas daging sapi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga daging lainnya. Oleh karena itu, hal ini menarik perhatian DJP dalam melakukan pengenaan pajak terhadap daging yang sudah diolah.
Selain itu, PPN terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP), DPP atas daging yang telah diolah yaitu harga jual, harga penggantian, nilai ekspor, nilai impor, atau nilai lain.
Oleh karena itu, atas pemungutan tersebut Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib menyetorkan pajak yang terutang kepada negara setelah diselisihkan antara nilai pajak masukan dengan pajak keluaran. Untuk PPN terutang disetorkan paling lambat akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir atau sebelum SPT Masa PPN disampaikan.
Sampai saat ini daging wagyu masih mendapatkan fasilitas bebas PPN sebab masih berada di fase pemulihan ekonomi dan kesiapan sisi administrasi perpajakan. Jika kondisi ekonomi telah pulih maka atas pangan premium akan dikenakan pajak.
Sementara itu, pengenaan PPN terhadap barang pangan dikatakan cukup rumit dikarenakan sulit membedakan bahan pangan premium dengan kualitas biasa. Apalagi jika bahan pangan tersebut diperoleh dengan cara impor maka terlebih dahulu dilakukan penyesuaian dengan Direktorat Jenderal Bea Cukai dalam pelaksanaan administrasi perpajakannya.
Untuk itu, rencana pengenaan pajak terhadap pangan premium merupakan bentuk keadilan pajak dan bentuk respons pemerintah terhadap kemunculan pangan premium dalam produksi pangan di Indonesia dengan harga terjangkau. Tarif PPN yang berlaku saat ini sebesar 11% yang tercantum dalam UU HPP. Sebelumnya, masih berlaku tarif lama yakni 10% dari DPP. Dengan begitu, diharapkan adanya fasilitas pembebasan PPN, kebutuhan pangan masyarakat terjangkau dan menjaga daya beli masyarakat.
Demikian atas pembebasan PPN terhadap daging segar, diharapkan mampu menjaga daya beli masyarakat. Fasilitas ini diberikan kepada barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh seluruh masyarakat. Selain itu, fasilitas ini dikecualikan untuk barang kena pajak atau jasa kena pajak yang diatur dalam peraturan perpajakan. Untuk tarif PPN dikenakan sebesar 11% terhadap DPP.(Kelly Pabelasary)