PajakOnline.com— Gara-gara debat Capres 2024, kata-kata Omon-omon (maksudnya omong-omong/ngomong) menjadi ramai dan viral. Tapi, omon-omon kita di sini soal Tax Ratio. Indonesia dinilai memiliki tax ratio yang rendah, sebesar 10,21% dari PDB di tahun 2023. Omon-omon apa sih tax ratio itu? Bagaimana dampak dari tax ratio ini dalam perekonomian negara?
Tax ratio didefinisikan sebagai indikator yang bisa digunakan untuk mengukur perbandingan kinerja antara penerimaan perpajakan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) di suatu negara. PDB ini mencakup belanja konsumen, investasi, belanja pemerintah, dan net ekspor.
Artinya, besaran tax ratio ini menunjukan kemampuan suatu negara dalam mengumpulkan penerimaan perpajakannya. Semakin tinggi penerimaan di bidang perpajakan maka semakin tinggi pula tax ratio sebuah negara.
Setiap negara memiliki caranya tersendiri dalam menghitung tax ratio. Perhitungan ini berdasarkan kepada International Monetary Fund (IMF) atau Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).
Apabila menggunakan metode IMF perhitungan tax ratio memerhatikan komponen penerimaan pajak mulai dari pajak pusat, daerah, bea cukai, keuntungan badan usaha selain dividen, hingga penerimaan negara dari Sumber Daya Alam (SDA).
Sedangkan jika menggunakan metode dari OECD, perhitungannya memerhatikan komponen penerimaan pajak yang lebih luas dengan menambah kontribusi jaminan sosial. Tetapi, selama ini Indonesia masih menerapkan perhitungan dengan prinsip-prinsip I-Account yang berasal dari sistem Government Finance Statistic Manual.
Sistem Government Finance Statistic Manual ini dengan membagi penerimaan perpajakan pusat dengan PDB. Perbedaan metode perhitungan ini menjadi salah satu penyebab perbandingan besaran tax ratio antarnegara menjadi timpang jauh.
Dalam beberapa tahun terakhir, besaran tax ratio Indonesia memang sedang mengalami penurunan. Menurut data yang diperoleh dari Nota Keuangan yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu), tax ratio Indonesia mengalami titik atau level terendahnya yaitu di tahun 2020 sebesar 8,3% terhadap PDB.
Angka yang sangat kecil ini merupakan akibat dari pandemi Covid-19 yang membuat segala aspek aktivitas dan roda perekonomian terhenti. Padahal jika dilihat di periode sebelumnya, seperti di tahun 2017-2019, besaran tax ratio Indonesia dapat dikatakan cukup stabil, yaitu sebesar 9,9% di tahun 2017, 9,8% di tahun 2019, dan bahkan mencapai 10,2% di tahun 2018.
Meski begitu, di tahun 2021 tax ratio Indonesia sudah menunjukkan adanya peningkatan yaitu sebesar 9,12% dan 10,39% terhadap PDB di tahun 2022. Peningkatan ini sebagai akibat dari pulihnya aktivitas perekonomian di Indonesia sehingga penerimaan perpajakannya juga meningkat.
Walaupun telah kembali mengalami peningkatan, besar tax ratio Indonesia masih terbilang cukup rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Menurut data yang diperoleh dari OECD, negara-negara di Asia Tenggara seperti Vietnam, Filipina, Thailand, Singapura, bahkan Malaysia masih memiliki besaran tax ratio yang lebih tinggi ketika dibandingkan dengan Indonesia.
Pada tahun 2021, tax ratio Vietnam mencapai sebesar 22,7%, kemudian Filipina dengan 17,8%, disusul Thailand dengan 16,5%, Singapura 12,8%, dan Malaysia sebesar 11,4%.
Rendahnya tax ratio Indonesia disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu faktor makro dan mikro. Pertama, rendahnya tax ratio karena adanya faktor mikro. Faktor mikro yang dimaksud mencakup aspek kepatuhan wajib pajak, komitmen dan koordinasi antar lembaga negara, hingga kesamaan persepsi antara wajib pajak dengan aparatur negara. Kemudian, faktor kedua dari rendahnya tax ratio adalah faktor makro. Faktor makro ini mencakup tingkat pendapatan per kapita, tarif pajak, hingga tingkat optimalisasi tata laksana pemerintahan yang baik.
Dilihat dari sisi kepatuhan wajib pajak, pemerintah masih terus berupaya agar kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya bisa terus meningkat. Hal ini diperkuat dengan data dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bahwa target rasio kepatuhan penyampaian SPT sebesar 83% sudah tercapai di pertengahan tahun bahkan melampaui target, yaitu sebesar 90,23% per September 2023 lalu.
Kemudian, pada tahun 2022 pemerintah juga telah melakukan reformasi administrasi dengan adanya implementasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang merupakan poin pembenahan dari sisi koordinasi antarlembaga negara serta optimalisasi tata laksana pemerintah yang baik.
Adanya UU HPP ini ikut serta dalam perluasan basis pajak yaitu berupa penetapan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11%. Selain itu, juga diatur tentang adanya kenaikan tax bracket PPh yaitu sebesar 35%.
Sampai sekarang, pemerintah masih terus berupaya untuk meningkatkan besaran tax ratio Indonesia. Salah satu program yang baru saja diselesaikan oleh DJP adalah integrasi atau pemadanan NIK sebagai NPWP.
Proses integrasi ini sudah dilakukan secara bertahap sejak tahun 2022 dan baru saja selesai di 1 Januari 2024. Dalam prosesnya DJP memberikan kemudahan bagi para Wajib Pajak. Pemadanan NIK sebagai NPWP tidak perlu dilakukan di kantor pajak secara offline, tetapi DJP telah memberikan kemudahan dengan melakukan pemadanan secara online di website milik DJP sendiri.
Pemadanan NIK sebagai NPWP ini menurunkan risiko celah penghindaran pajak (tax avoidance) karena segala harta berharga di Indonesia akan terekam datanya oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Segala upaya perpajakan yang dilakukan pemerintah di atas dilakukan dengan tujuan meningkatkan tax ratio Indonesia. Peningkatan tax ratio ini akan memberikan dampak positif terhadap perekonomian. Apabila ditinjau secara luas dan keseluruhan, peningkatan penerimaan suatu negara akan sejalan dengan peningkatan belanja negara.
Selanjutnya, peningkatan belanja negara ini bisa menyebabkan multiplier effect, sehingga perekonomian tumbuh lebih besar. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa peningkatan tax ratio sekecil atau sebesar apapun itu akan berdampak signifikan pada perekonomian suatu negara secara keseluruhan. (Wiasti Meurani)