PajakOnline.com—Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2009 mengenai pariwisata mendefinisikan segala sesuatu yang memiliki keterkaitan dengan wisata, baik secara subjek maupun objek, serta pada daya tarik wisatanya. Dalam Pasal 1 dijelaskan sektor pariwisata merupakan sektor yang memiliki potensi yang cukup tinggi apabila dikembangkan dan dipergunakan dengan baik dan tepat sebagai penerimaan pendapatan daerah.
Untuk itu, pengembangan dalam sektor pariwisata tentunya dapat membantu mensejahterakan serta menumbuhkan perkembangan ekonomi masyarakat setempat, sebab banyak wisatawan yang berkunjung ke lokasi pariwisata tersebut sebagai daerah tujuan wisata. Sama halnya dengan pendapatan asli daerah (PAD), di mana industri pariwisata ini akan membantu meningkatkan penerimaan daerah.
Tak hanya itu, sektor pariwisata merupakan industri yang menghasilkan berbagai banyak hal, baik jasa ataupun barang. Sebagai contoh penyelenggaraan agen perjalanan, penyediaan hotel ataupun restoran, akomodasi, pusat oleh-oleh sepeti souvenir atau cinderamata, pemandu wisata, hingga penyediaan transportasi. Jasa atau produk-produk dalam industri pariwisata tersebut tentunya memiliki keterkaitan dalam bidang perpajakan.
Sementara pengembangan pariwisata tidak dapat berjalan dengan sendirinya, untuk itu sangat pentingnya dukungan secara penuh, baik dari masyarakatnya, pemerintahnya, hingga kebijakan-kebijakannya untuk mencapai pertumbuhan yang selaras dengan usaha pengembangan yang dilakukan juga pada sektor lainnya.
Adapun pajak pariwisata yang sebagai penerimaan pajak bersumber dari pemungutan tingkat daerah/kabupaten. Pajak pariwisata meliputi pajak hiburan, pajak hotel, hingga pajak restoran. Pengenaan pajak tersebut bertujuan dalam meningkatkan ataupun sebagai penunjang dalam pendapatan asli daerah (PAD).
Kemudian, pendapatan yang diperoleh dari penyetoran pajak secara otomatis dapat menumbuhkan perkembangan pariwisata menjadi lebih baik, seperti dalam membangun fasilitas-fasilitas yang menunjang masyarakat, hingga memberikan pemeliharaan yang baik dalam menjaga dan melestarikan kekayaan alam di daerah-daerah tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 bahwa pemungutan pajak pada sektor pariwisata terdapat beberapa pihak yang terlibat, yakni pemungut pajak, wajib pajak, hingga pihak ketiga yang memiliki keterkaitan dengan perpajakan. Terdapat 2 jenis sanksi yang dapat dikenakan kepada wajib pajak apabila tidak memenuhi kewajiban perpajakan, sanksi tersebut terdiri dari sanksi administrasi dan sanksi pidana. Maka dari itu, para wajib pajak atau pemungut dituntut untuk memiliki kesadaran hingga kepatuhan dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan tepat waktu sesuai dengan ketentuan perpajakan yang belaku.
Terdapat insentif pada pajak pariwisata, dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 86/PMK.03/2020 dan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 110/PMK.03/2020, dimana dijelaskan bahwa PPh Pasal 21 DTP secara garis besar dapat mensubsidi seluruh usaha yang bergerak dibidang pariwisata, baik secara langsung ataupun tidak langsung.
Sementara itu, dalam Peraturan Menteri Keuangan Pasal 2 Nomor 121/PMK.03/2015 bahwa dalam ketentuan tersebut mengharuskan pelaku usaha menggunakan nilai naik sebagai DPP (Dasar Pengenaan Pajak). Ketentuan tersebut berisi bagi pengenaan PPN atas penyerahan jasa biro perjalanan ataupun agen perjalanan wisata yang penyerahannya tidak didasari dari pemberian imbalan/komisi, maka penjualan akan dikenakan 10% dari jumlah yang seharusnya ditagih.
Dengan demikian, pelaku usaha akan menggunakan DPP pada nilai tersebut, maka PPN terutangnya dikenakan sebesar 1%. Namun, apabila terdapat rincian biaya dalam tagihannya, maka PPN terutangnya dikenakan sebesar 10% dari nilai imbalan/komisi tersebut.(Kelly Pabelasary)