PajakOnline.com—Butik merupakan sebuah toko pakaian yang diciptakan oleh desainer. Hanya dengan menjentikkan jari, seorang desainer fashion dapat membuat pakaian yang kemudian dijual di butik. Tentu saja pemilik butik juga dikenakan pajak terkait usahanya.
Pemilik butik tentunya memperoleh penghasilan yang berasal dari penjualan pakaian tersebut. Kemudian atas penjualan pakaian tersebut termasuk ke dalam salah satu objek Pajak Pertambahan Nilai. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pajak pemilik butik terdapat aspek Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Hal yang pertama yaitu mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP. Pada saat membuka suatu usaha atau mendirikan suatu badan, pemilik butik harus mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP. Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak (DJP) Nomor 04/PJ/202 NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya.
Jika pemilik butik belum memiliki NPWP maka segera daftarkan diri usaha Anda untuk memperoleh NPWP. Karena konsekuensi jika tidak mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, jika terdeteksi oleh petugas pajak maka petugas pajak dapat menerbitkan secara jabatan dan menentukan pajak yang harus Anda bayar yang terutang maksimal selama 5 tahun kebelakang selama pengusaha tidak membayar pajak berupa Pajak Penghasilan.
Kemudian, kewajiban mengelola pajak pemilik butik juga berupa PPh. Setelah memperoleh NPWP maka Wajib Pajak pemilik butik memiliki kewajiban untuk menghitung, menyetor dan melapor PPh. Baik itu PPh Tahunan maupun PPh Masa. Sebagai pelaku pengusaha baik itu Orang Pribadi maupun Badan yang tergolong ke dalam UMKM yang memiliki omzet tidak melebihi Rp 4,8 miliar, Wajib Pajak pemilik butik memiliki kewajiban untuk membayar pajak UMKM dengan tarif 0,5% dari omzet penjualan dalam sebulan. Pajak tersebut diatur dalam PP 23 tahun 2018, dibayarkan setiap bulan dan dilaporkan pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh. Adapun jika Wajib Pajak pemilik butik tidak tergolong UMKM, maka pengenaan pajaknya dikenakan sebagaimana ketentuan tarif berdasarkan Pasal 17 UU PPh.
Selain SPT Tahunan, Wajib Pajak pemilik butik juga memiliki kewajiban untuk menghitung, menyetor dan melaporkan SPT Masa PPh. SPT Masa PPh tersebut dapat berupa PPh 25 atas angsuran pajak, SPT PPh 4 ayat 2 atas penghasilan yang dikenakan pajak bersifat final, SPT PPh 21 atas pemotongan pajak pada penghasilan yang diterima oleh pegawai maupun bukan pegawai , SPT PPh 22 sebagai pemungut apabila diwajibkan untuk memungut PPh 22, PPh 23 atas pemotongan pajak pada penghasilan berupa bunga, royalti, hadiah, dividen, sewa dan jasa.
Tidak semua Wajib Pajak pemilik butik harus mengukuhkan diri sebagai PKP yang kemudian memiliki kewajiban untuk mengelola PPN. Hanya Wajib Pajak pemilik butik yang mempunyai omset lebih dari Rp 4,8 miliar saja yang memiliki kewajiban untuk dikukuhkan sebagai PKP. Namun, pemilik butik yang memperoleh omzet tidak melebihi Rp 4,8 miliar juga dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Setelah dikukuhkan menjadi PKP, maka Wajib Pajak pemilik butik memiliki kewajiban untuk menghitung, memungut, menyetor dan melapor PPN. Oleh karena itu, setiap terjadi transaksi pembelian barang atau penyerahan jasa harus membuat Faktur Pajak sebagai bukti pemungutan PPN kepada lawan transaksi.
Tarif PPN yang dikenakan yaitu 10%, kecuali untuk ekspor yaitu 0%. Cara menghitung PPN yang terutang yaitu dengan mengkreditkan Pajak Keluaran dengan Pajak Masukan. Kemudian untuk pelaporan PPN harus dilakukan setiap bulan pada akhir bulan berikutnya. (Azzahra Choirrun Nissa)