PajakOnline.com—Pemeriksaan pajak yang dilakukan petugas pajak tak bisa semena–mena dilakukan, melainkan terdapat persyaratan dan kondisi tertentu yang harus dipenuhi supaya pemeriksaan berjalan efektif dan efisien.
Berdasarkan surat edaran dirjen pajak nomor SE-15/PJ/2018, proses bisnis pemeriksaan adalah suatu rangkaian prosedur kegiatan pemeriksaan pajak yang terdiri dari tiga komponen utama, yakni:
– Proses pemilihan Wajib Pajak yang diperiksa yang dilakukan secara objektif, transparan dan dapat diandalkan.
– Optimalisasi kinerja Sumber Daya Manusia (SDM) Pemeriksa Pajak sebagai pelaksana kegiatan pemeriksaan.
– Perbaikan terus-menerus atas peraturan perpajakan di bidang pemeriksaan.
Sementara itu, untuk menjalankan 3 komponen proses bisnis pemeriksaan tersebut, maka dilakukanlah revitalisasi proses bisnis pemeriksaan di lingkungan DJP dengan arah reformasi perpajakan yang juga sedang dilakukan.
Revitalisasi proses bisnis pemeriksaan ini dilakukan dengan melalui penyusunan peta kepatuhan wajib pajak dan penyusunan Daftar Sasaran Prioritas Penggalian Potensi (DSP3), pembentukan komite perencanaan pemeriksaan, pembagian kebijakan penerbitan penugasan pemeriksaan, pengendalian mutu pelaksanaan pemeriksaan, alokasi dan pengelolaan SDM pemeriksaan, serta percepatan restitusi PPN dan penggunaan sarana dan prasarana pemeriksaan.
Selanjutnya, tujuan dilakukannya revitalisasi adalah untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pemeriksaan sehingga pemeriksaan pajak yang dilakukan mampu mendorong pertumbuhan penerimaan pajak dan peningkatan kepatuhan wajib pajak yang berkelanjutan, mencegah praktik penghindaran pajak, serta demi mencapai pemeriksaan pajak yang efektif.
Berikut kriteria tercapainya pemeriksaan yang efektif:
1. Pemeriksaan pajak selesai dan pencairan pajak dari hasil pemeriksaan pajak optimal. Hal ini berarti juga bahwa pemeriksaan harus diselesaikan dalam jangka waktu yang semestinya dan penyelesaian tersebut ditandai dengan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) selesai dilaksanakan serta dibuat Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) ataupun LHP sumir.
2. Minimalnya upaya hukum yang diajukan oleh wajib pajak. Untuk meminimalkan upaya hukum yang dilakukan wajib pajak, maka ketetapan pajak harus dapat diandalkan dan mampu membuat wajib pajak menerima serta membayar ketetapan pajak tersebut.
3. Terkendalinya restitusi pajak. Pengendalian restitusi pajak ini dilakukan dengan cara mengoptimalkan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak yang disebutkan pada pasal 17C dan 17D UU KUP, serta pasal 9 ayat (4c) UU PPN. Optimalisasi ini dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan post-audit terhadap wajib pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan sesuai kriteria yang ditetapkan.
4. Menciptakan kepatuhan berkelanjutan. Dengan dilakukannya berbagai proses bisnis dalam administrasi perpajakan bertujuan untuk menciptakan kepatuhan wajib pajak. Kepatuhan berkelanjutan menjadi tanda dari pemeriksaan pajak yang efektif, karena wajib pajak tak hanya patuh sesaat setelah dilakukannya pemeriksaan.
Untuk ke depannya, DJP akan terus memperbaiki dan meng-improve kualitas proses bisnis pemeriksaan pajak maupun proses bisnis lain dalam lingkup administrasi perpajakan. Hal ini dilakukan supaya proses pelaksanaan pemungutan pajak dapat terlaksana dengan lebih kredibel dan meningkatkan kredibilitas DJP di mata masyarakat. (Kelly Pabelasary)