PajakOnline.com—Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menanggapi permintaan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) untuk mengevaluasi penerapan pajak kripto.
Permintaan evaluasi itu karena industri kripto dinilai masih baru dan masih butuh berkembang, sehingga perlu ruang untuk tumbuh. Bappebti berpendapat, pengenaan pajak seharusnya dilakukan saat industri itu sudah maju.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti mengatakan, setiap masukkan dari pelaku industri atau masyarakat umumnya pasti akan dibahas secara internal.
“Masukkan dari Bappebti, masyarakat, kita terima, pasti akan dibicarakan secara internal,” kata Dwi, Rabu (28/2/2024).
Dwi mengatakan, industri kripto masih terus menyumbang penerimaan pajak. Total pemungut pajak itu pun telah mencapai 33 exchanger aset kripto dan dari 2022 Januari 2024 ini dan total setoran pajaknya dari transaksi mencapai 506,4 miliar. “Untuk di 2024 sendiri sampai Januari Rp39,13 miliar,” kata Dwi.
Adapun pajak yang dipungut untuk transaksi kripto di antaranya bagi penjual aset kripto yakni pajak penghasilan (PPh) dan bagi pembeli aset kripto dinamakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
PPh untuk penjual aset kripto terdaftar pajak yang harus dibayarkan sebesar 0,1% dari nilai transaksi, sementara PPN adalah 0,11% dari nilai transaksi. Sementara yang belum terdaftar di Bappebti, pungutan pajaknya lebih tinggi yakni PPh 0,2% dan PPN sebesar 0,22%.
Baca Juga:
Hindari Pajak Kripto, Transaksi Jadi Lebih Banyak di Exchange Luar Negeri