PajakOnline.com—Penghindaran Pajak Berganda (P3B) merupakan perjanjian internasional di bidang perpajakan antar kedua negara yang mengatur pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh penduduk salah satu negara atau penduduk kedua negara dalam persetujuan itu. Pembagian hak tersebut diatur dengan tujuan untuk mencegah seminimal mungkin terjadinya pengenaan pajak berganda.
Terdapat lima tujuan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B). Sebagai berikut:
1. Tidak terjadi pemajakan ganda yang memberatkan iklim dunia usaha, perjanjian ini menjadikan pengenaan pajak atas laba usaha tidak dapat dikenakan di kedua tempat, yaitu negara sumber atau negara domisili. Jadi, laba usaha dikenakan pajak di tempat mereka berkedudukan.
2. Peningkatan investasi modal dari luar negeri, perjanjian ini diharapkan dapat menarik negara luar untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Sebab jika investasi berupa bunga, dividen atau royalti dikenakan pajak yang tinggi, hal ini dapat menimbulkan keraguan pada negara luar. Tentunya, dapat memperlambat pertumbuhan investasi modal di Indonesia dari luar negeri.
3. Peningkatan sumber daya manusia, pembebasan pajak atas mahasiswa dan pelatihan karyawan di negara tempat menempuh pendidikan maupun pelatihan akan meningkatkan kemampuan mereka, menjadikannya sebagai sumber daya manusia yang lebih kompeten.
4. Pertukaran informasi guna mencegah pengelakan pajak, kedua negara yang terlibat dalam perjanjian penghindaran pajak berganda dapat mengetahui jika ada penduduk yang tidak memenuhi kewajiban perpajakan sehingga dapat dideteksi segera mungkin.
5. Kedudukan yang setara dalam hal pemajakan antar kedua negara, P3B mengatur adanya pemajakan yang sama dan setara antar kedua negara dengan prinsip saling menguntungkan serta tidak memberatkan penduduk asing antar kedua negara dalam menjalankan usaha.
Selain itu, perjanjian penghindaran pajak berganda menjadi salah satu sumber hukum yang digunakan dalam setiap transaksi. Aspek perpajakannya ditetapkan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian penghindaran pajak berganda yang bersangkutan sesuai jenis transaksinya.
Untuk itu, menerapkan perjanjian penghindaran pajak berganda ini terdapat tahapan dalam prosedur yang perlu dilalui, di antaranya:
– Mencari tahu jika subjek pajak, objek pajak, negara, dan ketentuan pemberlakukan P3B yang dibahas termasuk dalam cakupan atau ruang lingkup dari perjanjian penghindaran pajak yang bersangkutan.
– Memastikan definisi penghasilan yang dibahas untuk memastikan penghasilan tersebut akan masuk dalam ketentuan atau pasal substantif yang tepat.
– Menentukan pasal substantif yang berlaku. Tahap ini penting karena akan menentukan negara yang akan menerima hak pemajakan.
– Menghilangkan dampak pajak berganda jika seandainya dalam pasal-pasal substantif dalam perjanjian itu, masing-masing negara diberikan hak pemajakan dengan cara mewajibkan negara domisili untuk memberikan keringanan pajak melalui metode pembebasan (exemption method) atau metode kredit (credit method) yang diatur dalam ketentuan domestiknya.
– Jika masih terdapat perbedaan atau belum terbentuknya kesepakatan antar negara, tahap terakhir dalam penerapan ini adalah menyelesaikan masalah pajak berganda melalui prosedur persetujuan bersama atau mutual agreement procedure (MAP).
Berdasarkan PER-10/PJ/2017 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, pemungut/pemotong pajak dapat memungut/memotong pajak sesuai dengan ketentuan dalam P3B dengan syarat sebagai berikut:
1. Terdapat perbedaan antara ketentuan yang diatur dalam UU PPh dan ketentuan dalam perjanjian penghindaran pajak berganda, tarif P3B dibuat lebih kecil daripada tarif aturan domestik. Maka dari itu, subjek pajak luar negeri (SPLN) harus menunjukkan Surat Keterangan Domisili (SKD) atau Certificate of Residence.
2. Penerima penghasilan bukan subjek pajak dalam negeri Indonesia, jika penerima penghasilan merupakan subjek pajak dalam negeri, akan dikenakan pemotongan PPh Pasal 21, Pasal 23, atau Pasal 4 ayat 2. Kemudian menurut undang-undang yang berlaku, pemotongan PPh untuk subjek pajak luar negeri adalah PPh 26 sebesar 20%. Namun, pemberi penghasilan di Indonesia boleh tidak menggunakan pasal tersebut, tetapi menggunakan perjanjian penghindaran pajak berganda.
Jika penerima penghasilan merupakan orang pribadi atau badan yang merupakan subjek pajak dalam negeri dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B. Berarti, hanya negara yang memiliki perjanjian yang dapat memanfaatkan tarif khusus ini. Maka negara lain di luar perjanjian penghindaran pajak dengan Indonesia tidak dapat memanfaatkannya.
3. Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) menyampaikan SKD WPLN yang telah memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan tertentu lainnya, SPLN perlu memperlihatkan SKD yang telah memenuhi persyaratan lainnya, seperti menggunakan Form DGT. Formulir ini diisi oleh SPLN yang telah menyelesaikan double taxation convention (DTC) dengan Indonesia. Form DGT digunakan sesuai periode yang tercantum pada SKD dan disampaikan bersamaan dengan penyampaian SPT Masa.
4. Tidak terjadi penyalahgunaan P3B, ada batasan agar pemanfaatan P3B tidak disalahgunakan oleh WPLN, di antaranya:
– Substansi ekonomi dalam pendirian entitas atau pelaksanaan transaksi.
– Bentuk hukum yang sama dengan substansi ekonomi dalam pendirian entitas atau pelaksanaan transaksi.
– Kegiatan usaha yang dikelola oleh manajemen sendiri dan manajemen tersebur mempunyai kewenangan yang cukup untuk melakukan transaksi.
– Aset tetap dan aset tidak tetap yang cukup serta memadai untuk melaksanakan kegiatan usaha di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B selain aset yang mendatangkan penghasilan dari Indonesia.
– Pegawai dalam jumlah yang cukup dan memadai dengan keahlian serta keterampilan tertentu yang sesuai dengan bidang usaha yang dijalankan perusahaan.
– Kegiatan atau usaha aktif selain hanya menerima penghasilan berupa dividen, bunga, dan/atau royalti yang bersumber dari Indonesia.
5. Penerima penghasilan merupakan beneficial owner dalam hal dipersyaratkan dalam P3B, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar WPLN dianggap sebagai beneficial owner. Bagi WPLN orang pribadi, tidak bertindak sebagai Agen atau Nominee. Sedangkan Bagi WPLN badan, tidak bertindak sebagai Agen, Nominee, atau Conduit.
Berikut ada persyaratan WPLN badan ini agar dianggap sebagai beneficial owner adalah:
– Mempunyai kendali untuk menggunakan atau menikmati dana, aset, atau hak yang mendatangkan penghasilan dari Indonesia
– Penghasilan badan yang digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain tidak lebih dari 50%. Penghasilan badan yang dimaksud di sini adalah seluruh penghasilan WPLN dengan nama dan dalam bentuk apapun serta dari sumber manapun, sesuai dengan laporan keuangan non-konsolidasi WPLN.
– Menanggung risiko atas aset, modal, atau kewajiban yang dimiliki dan tidak mempunyai kewajiban (tertulis maupun tidak tertulis) untuk meneruskan sebagian atau seluruh penghasilan yang diterima dari Indonesia kepada pihak lain.(Kelly Pabelasary)