PajakOnline.com—Wajib pajak dapat mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak. Hal tersebut tertera dalam ketentuan Pasal 11 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 9/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan sebagaimana telah diubah dengan PMK No.202/PMK.03/2015 (PMK 9/2013 s.t.d.d. PMK 202/2015).
Sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) PMK 9/2013 s.t.d.d. PMK 202/2015, pencabutan pengajuan keberatan dapat dilakukan sebelum diterimanya Surat Pemberitahuan Untuk Hadir (SPUH) oleh wajib pajak. Apabila SPUH sudah diterima, wajib pajak tidak dapat melakukan pencabutan pengajuan keberatan.
Dalam pencabutan pengajuan keberatan yang dilakukan, wajib pajak harus memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 11 ayat (2) PMK 9/2013 s.t.d.d. PMK 202/2015. Terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi wajib pajak:
- Pertama, wajib pajak harus mengajukan permohonan pencabutan pengajuan keberatan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia. Permohonan ini disertai dengan alasan pencabutan, yang menggunakan format sesuai contoh dalam Lampiran III PMK 9/2013 s.t.d.d. PMK 202/2015.
- Kedua, surat permohonan ditandatangani oleh wajib pajak dan dalam hal surat permohonan tersebut ditandatangani bukan oleh wajib pajak, surat permohonan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus yang dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) UU KUP.
- Ketiga, surat permohonan harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat wajib pajak terdaftar dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Pajak dan Kepala Kanwil DJP yang merupakan atasan Kepala KPP tempat wajib pajak terdaftar.
Selain itu, DJP wajib memberikan jawaban atas permohonan pencabutan pengajuan keberatan yang diajukan wajib pajak. Jawaban tersebut dapat berupa surat persetujuan atau surat penolakan, yang dibuat dengan menggunakan format sesuai contoh dalam Lampiran IV PMK 9/2013 s.t.d.d. PMK 202/2015.
Adapun konsekuensi hukum yang timbul akibat pencabutan pengajuan keberatan yang diajukan oleh wajib pajak. Wajib pajak tidak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP.
Pada Pasal 25 ayat (7) UU KUP menyatakan jangka waktu pelunasan pajak masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) tertangguh sampai dengan satu bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. Sebab, wajib pajak yang melakukan pencabutan pengajuan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak masih harus dibayar dalam SKPKB atau SKPKBT menjadi merujuk pada Pasal 9 ayat (3) UU KUP, yaitu satu bulan sejak tanggal penerbitan SKPKB atau SKPKBT.
Maka dari itu, apabila dalam jangka waktu tersebut wajib pajak belum melunasi utang pajak, atas keterlambatan tersebut dapat dikenai sanksi administrasi pajak berupa bunga sebesar 2% per bulan. Sanksi dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya surat tagihan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) UU KUP.(Kelly Pabelasary)