PajakOnline.com—Thrifting merupakan kegiatan membeli barang bekas yang sudah tidak terpakai lagi. Barang bekasnya berupa barang antik, pakaian bekas, aksesoris vintage. Kegiatan ini sebenarnya bertujuan untuk mendapatkan barang yang masih layak dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan barang baru, sehingga tidak perlu mengeluarkan uang lebih pada suatu barang tersebut.
Di era modern ini, banyak orang yang lebih memilih pakaian impor bekas daripada membeli atau menggunakan produk buatan lokal. Bagi sebagian orang, thrifting dinilai sebagai peluang bisnis karena tidak perlu mengeluarkan modal yang besar untuk memulainya.
Meskipun thrift sudah dilarang oleh pemerintah, masih banyak orang yang menjalankan bisnis ini dengan alasan sustainable fashion, yang bertujuan untuk mengurangi dampak negatif industri fashion terhadap lingkungan dan sosial.
Tingginya peminat produk thrift ini membuat pedagang barang impor bekas meningkat. Saat ini, banyak pedagang thrift yang menjual produknya dengan harga yang sangat rendah sehingga dikhawatirkan keberlangsungan industri tekstil dan pelaku UMKM akan tersingkir secara perlahan.
Fenomena thrifting ini selain merugikan industri tekstil dan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), rupanya juga merugikan negara karena barang-barang impor ilegal ini menghindari pajak dan bea masuk yang seharusnya masuk ke kas negara, yang berpengaruh terhadap pendapatan negara.
Selain itu, maraknya tren thrifting akan mendukung berkembangnya fast fashion yang nantinya juga akan merugikan pihak-pihak yang telah disebutkan di atas serta lingkungan. Jika kegiatan ini terus berlanjut, Indonesia akan menjadi tempat pembuangan limbah tekstil dari berbagai negara. Ada pula kekhawatiran mengenai kebersihan produk bekas karena adanya jamur dan parasit yang dapat membahayakan kesehatan.
Menteri Koperasi dan UKM (MenKop UKM) Teten Masduki menilai adanya kegiatan jual beli thrifting ini muncul karena adanya supply dan demand, sehingga apabila kegiatan impor barang bekas dihentikan maka thrifting produk impor bekas juga akan berhenti dengan sendirinya. Sehingga selanjutnya dapat digantikan oleh produk-produk lokal yang tidak kalah berkualitas.
Masyarakat perlu menyadari bahwa tren thrift ini cenderung berdampak negatif daripada positif. Dukungan dari berbagai pihak diperlukan untuk mendukung keberlanjutan produksi dalam negeri. Perlu adanya edukasi khusus dan kampanye publik mengenai kualitas produk lokal yang sebanding dengan merek asing, dan kita perlu bersinergi untuk mempromosikan produk-produk lokal kebanggaan Indonesia. (Wiasti Meurani)