PajakOnline.com—Dalam Sistem Perpajakan di Indonesia, terdapat beberapa pelanggaran yang membuat pelakunya mendapatkan sanksi pidana. Tindak pidana perpajakan ini, sudah diatur dalam Undang-undang (UU) di bidang perpajakan.
Di Indonesia, tindak pidana merupakan penerjemahan dari strafbaar feit dalam Wetboek van Strafrecht atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda. Wetboek van Strafrecht ini, kemudian diadopsi Indonesia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pada dasarnya, aturan hukum itu berkaitan dengan tindak pidana yang diatur dalam KUHP. Tetapi, khusus untuk tindak pidana di bidang perpajakan, berlaku ketentuan lex specialis derogat legi generalis, di mana ketentuan yang khusus mengesampingkan ketentuan yang umum.
Oleh karena itu, ketentuan mengenai tindak pidana pajak diatur khusus dalam UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan atau UU KUP. Secara spesifik, diatur dalam Bab VIII UU KUP.
Selain itu, ketentuan pidana di bidang perpajakan juga diatur dalam hukum pajak material. Ketentuan itu termuat dalam UU Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), UU Bea Meterai, dan UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP).
Ketentuan tentang tindak pidana di bidang perpajakan sudah diatur dalam UU KUP, dan hukum pajak material. Namun, dalam beberapa aturan tersebut tidak secara tegas menyebutkan mengenai definisi tindak pidana perpajakan.
Definisi mengenai tindak pidana perpajakan, tercantum dalam UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang penanaman Modal. Lebih tepatnya, pada bagian penjelasan Pasal 33 ayat (3).
Penjelasan atas Pasal 33 ayat (3) UU Penanaman Modal, berbunyi “Yang dimaksud dengan tindak pidana perpajakan adalah informasi yang tidak benar mengenai laporan yang terkait dengan pemungutan pajak dengan menyampaikan surat pemberitahuan, tetapi yang isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada negara dan kejahatan lain yang diatur dalam undang-undang yang mengatur perpajakan”.
Selain itu, definisi mengenai tindak pidana perpajakan juga termaktub dalam aturan teknis perpajakan. Secara spesifik, pada Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 239/PMK.03/2014 s.t.d.d PMK 242/PMK.03/2014.
Aturan tersebut berbunyi “Tindak Pidana di Bidang Perpajakan adalah perbuatan yang diancam sanksi pidana oleh undang-undang di bidang perpajakan yang meliputi Pasal 38, Pasal 39, Pasal 39A, Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 41B, Pasal 41C, dan Pasal 43 Undang-Undang KUP, Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang PBB, Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang Bea Meterai, dan Pasal 41A Undang-Undang PPSP”.
Terdapat empat unsur dalam tindak pidana perpajakan, yaitu:
1. Unsur Perbuatan
Unsur perbuatan, adalah perbuatan-perbuatan di bidang perpajakan yang memenuhi rumusan dalam UU dan bersifat melawan hukum. Perbuatan-perbuatan tersebut, dirumuskan dalam ketentuan pidana dalam UU KUP, UU PBB, UU Bea Meterai, dan UU PPSP. Pasal-pasal yang merumuskan perbuatan pidana dan saksinya terdapat dalam Pasal 38, 39, 39A, 41A, 41B, 41C, 43 UU KUP; Pasal 24, 25 UU PBB; Pasal 24, 25, 26 UU Bea Meterai; dan Pasal 41A UU PPSP.
2. Unsur Akibat
Perbuatan-perbuatan pidana yang dirumuskan dalam pasal-pasal tersebut di atas, memiliki unsur akibat dari suatu keadaan yang dilarang. Misalnya, Pasal 38 UU KUP, yang menyebutkan bahwa setiap orang yang karena kealpaannya melakukan perbuatan:
a. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), atau b. Menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar
Terkait perbuatan yang telah disebutkan tersebut, menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, didenda paling sedikit satu kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak dua kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat tiga bulan atau paling lama 1 satu tahun.
Dari bunyi Pasal 38 UU KUP tersebut, jelas disebutkan unsur akibat dari perbuatan yang dilarang, yakni berupa timbulnya kerugian pada pendapatan negara.
3. Unsur Subjek
Unsur subjek, adalah pelaku suatu tindak pidana yang dalam Pasal 39 dan Pasal 39A UU KUP disebutkan dengan “setiap orang”.
Ini kemudian ditegaskan dalam Pasal 43 UU KUP dengan menyebutkan termasuk wakil, kuasa, pegawai dari wajib pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Dari rumusan tiga pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa subjek, adalah orang pribadi (naturaliijk persoon), badan (recht persoon), dan pihak lain.
4. Unsur Kesalahan
Unsur kesalahan merupakan salah satu syarat penjatuhan pidana, berupa perhubungan keadaan jiwa pelaku terhadap perbuatannya. Hal ini dikenal dengan “mens rea”, yakni niat pelaku. Ini baik berupa kealpaan (culpa) maupun kesengajaan (dolus) dalam melakukan suatu perbuatan yang dilarang.
UU di bidang perpajakan mengenal dua bentuk kesalahan, yaitu kealpaan dan kesengajaan. Pasal 38 UU KUP merupakan contoh rumusan pidana bentuk kesalahan karena kealpaan.
Secara spesifik, hal ini tertera dalam Pasal 39 ayat (1) UU KUP, yang merupakan contoh pasal pidana yang merumuskan perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sengaja beserta sanksi pidananya.
Atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan di bidang perpajakan, penyidik dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan melakukan penyidikan berupa serangkaian tindakan dalam rangka mencari serta mengumpulkan bukti.
Penyidikan dan pengumpulan bukti-bukti ini, dilakukan untuk memperjelas terjadinya tindak pidana perpajakan yang terjadi, serta menemukan tersangka. Jika berkas perkara penyidikan telah dinyatakan lengkap oleh Jaksa, maka proses dilanjutkan dengan pelimpahan kewenangan atas berkas perkara, tersangka, dan barang bukti ke pengadilan. (Wiasti Meurani)