
Political Economy and Policy Studies (PEPS)
PajakOnline.com—Sejak Orde Lama, struktur Bank Indonesia berada di bawah kendali pemerintah (eksekutif). Artinya, Bank Indonesia tidak independen, di bawah Dewan Moneter yang diketuai Menteri Keuangan. Struktur ini membuat kebijakan moneter Indonesia menjadi subordinasi, atau di bawah bayang-bayang, kebijakan fiskal.
Ketergantungan Bank Indonesia dari eksekutif tercantum secara tegas di dalam UU tentang Bank Indonesia tahun 1953. Bank Indonesia dikendalikan Dewan Moneter yang terdiri dari 3 anggota yaitu Menteri Keuangan, Menteri bidang Ekonomi dan Gubernur Bank Indonesia, dengan Menteri Keuangan sebagai ketua.
Ketergantungan Bank Indonesia membuat kebijakan moneter tidak dijalankan secara profesional. Akibatnya, terjadi turbulensi ekonomi dan krisis keuangan berulang kali. Hiperinflasi dan pemotongan nilai (sanering) rupiah mewarnai kondisi ekonomi dan keuangan di era Orde Lama.
Inflasi mencapai 1.000 persen lebih pada 1966. Salah satu pemicunya adalah defisit anggaran yang tidak terkendali. Artinya, cetak uang.
Di era Orde Baru, Bank Indonesia masih dalam kendali pemerintah. Dewan Moneter dipertahankan. Guncangan ekonomi tidak kalah hebatnya dibanding era Orde Lama. Devaluasi terjadi berkali-kali: 10 persen pada 1971, 50 persen pada 1978, 38 persen pada 1983, dan 47 persen pada 1986. Inflasi juga tinggi. Mencapai 40 persen pada 1974, 20 persen (1976), 18 persen (1980).
Puncaknya terjadi krisis moneter 1998. Sektor perbankan runtuh. Menjalar ke sektor riil. Pertumbuhan ekonomi anjlok. Inflasi mencapai 58 persen. Rupiah anjlok dari Rp2.400 hingga menyentuh Rp16.000 per dolar AS. Orde Baru tumbang.
Krisis moneter 1998 membuat perbankan Indonesia lumpuh. Bank Indonesia terpaksa memberi pinjaman, atau dana talangan, yang dinamakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, atau BLBI. Jumlahnya mencapai Rp147,7 triliun. Namun, menurut BPK, terjadi penyelewengan sebesar Rp138 triliun. Jumlah yang sangat besar. Dan BLBI ini memang sangat mudah diselewengkan karena Bank Indonesia sebagai regulator juga sekaligus pengawas. Moral hazard.
Di samping itu, perbankan nasional yang sakit harus disehatkan kembali. Untuk itu, pemerintah perlu uang untuk ambil alih aset macet dan suntik modal tambahan. Karena pemerintah tidak ada uang cash, maka tambahan likuiditas dan modal diberikan dalam bentuk penyertaan obligasi rekapitalisasi (Obligasi Rekap). Totalnya mencapai Rp430 triliun.
Dan pemerintah harus bayar bunga atas Obligasi Rekap tersebut, sepanjang masa selama Obligasi Rekap belum dilunasi dari uang sendiri, bukan melalui utang lagi.
Karena, selama ini, pemerintah tidak pernah melunasi utangnya dari uang sendiri. Tetapi melunasi utang melalui utang lagi, atau melalui penerbitan obligasi lagi. Artinya, pemerintah tarik utang baru untuk bayar utang lama yang jatuh tempo. Modus ini juga termasuk Obligasi Rekap: yang sudah jatuh tempo dibayar dengan penerbitan obligasi baru.
Dengan cara pelunasan seperti ini, maka pemerintah harus bayar bunga Obligasi Rekap selamanya. Dengan asumsi suku bunga rata-rata 8 persen per tahun, maka bunga yang harus dibayar Rp34,4 triliun per tahun, atau Rp688 triliun per 20 tahun.
Krisis moneter 1998 menghasilkan reformasi UU Bank Indonesia. Membuat Bank Indonesia menjadi independen, dan tidak lagi di bawah kendali pemerintah: Dewan Moneter Out. Eksekutif Out. Tidak tanggung-tanggung, perintah Bank Indonesia harus independen dituangkan di dalam konstitusi UUD dan TAP MPR.
Tetapi, struktur yang sudah baik ini, yang sudah sesuai best practice Bank Sentral terkemuka dunia, mau dirusak. Pemerintah dan DPR sedang menyiapkan perubahaan UU Bank Indonesia untuk menjadikannya tidak independen lagi. Mau membentuk Dewan Moneter lagi dengan Menteri Keuangan sebagai ketua. Sehingga menjadikan struktur Bank Indonesia kembali ke era 1953 Orde Lama.
Atau ke era sebelum 1935 ketika Bank Sentral AS menjadi independen pada 1935 dengan menendang Menteri Keuangan AS di struktur Dewan Gubernur Bank sentral AS, melalui UU the Banking Act of 1935.
Kalau sampai Dewan Moneter terbentuk lagi dan menguasai Bank Indonesia, kalau sampai Bank Indonesia dipaksa membeli surat utang negara di pasar primer, maka guncangan demi guncangan ekonomi sulit dihindari.
Indonesia akan masuk gelombang krisis yang bisa berakhir seperti 1998, bank bailout. Dan perlu diingat, kewajiban bunga atas bailout ini akan terus ada sepanjang masa. Selamanya sampai utang lunas. Dan pelunasan ini tidak pernah terjadi.
Oleh karena itu, DPR harus menolak rencana perubahan UU BI ini. Dan masyarakat secara langsung juga harus menolak.