PajakOnline.com—DPR dan Pemerintah telah bersepakat mensahkan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja pada hari Senin, 5 Oktober 2020 kemarin. Sejak awal rencana pembuatan UU Cipta Kerja hingga disahkan, UU ini memang penuh kontroversial di tengah masyarakat. Hingga klaster Ketenagakerjaan yang terakhir dibahas pun, penolakan dari SP (Serikat Pekerja) dan SB (Serikat Buruh) terus meningkat dan menyatakan UU Cipta Kerja memang bermasalah dari sisi formil maupun materiil.
Dari sisi formil, sejak diumumkan Presiden tentang rencana pembuatan UU Cipta Kerja dengan metode Omnibus Law, Pemerintah tidak terbuka untuk melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan RUU Cipta Kerja tersebut. Pemerintah hanya melibatkan kalangan pengusaha untuk membuat draft RUU Cipta Kerja ini, hingga drat RUU Cipta Kerja yang final diserahkan ke DPR.
Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 mengamanatkan adanya pelibatan masyarakat dalam proses pembuatan suatu UU, dan oleh karenanya Pemerintah dan DPR harus melibatkan masyarakat dalam pembuatan UU Cipta Kerja. Namun dalam pelaksanaannya masyarakat tidak dilibatkan.
Pembahasan di tingkat Panja pun memiliki masalah. Ada beberapa pasal yang sudah disepakati di tingkat Panja ternyata berbeda hasilnya dengan isi pasal di UU Cipta Kerja. Pasal 59 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Pasal 66 tentang alih daya (outsourcing) dalam pembahasan di tingkat Panja disepakati sama dengan isi Pasal 59 dan 66 di UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tetapi di UU Cipta Kerja yang disahkan kemarin ternyata berbeda dengan isi kesepakatan Panja. Ada tangan-tangan yang bermain dalam pembiasan isi kesepakatan Panja tersebut.
Dari sisi materiil, UU Cipta Kerja sarat dengan semangat fleksibilitas yang memastikan penurunan perlindungan terhadap pekerja. Dihapuskannya syarat PKWT maksimal 3 tahun dan sekali perpanjangan PKWT, dan dibebaskannya outsourcing akan memastikan semakin banyak pekerja yang diperlakukan dengan sistem PKWT dan outsourcing. Seperti kita ketahui bersama pekerja PKWT dan outsourcing adalah pekerja yang rentan terlanggarnya hak-hak normatifnya seperti upah minimum (termasuk upah lembur) dan jaminan sosial.
Demikian juga dengan ketentuan penetapan wajib terhadap upah minimum propinsi, semementara upah minimum kabupaten/kota tidak wajib ditetapkan akan mereduksi upah pekerja sehingga mengancam penurunan daya beli dan kesejahteraan pekerja.
Kompensasi PHK yang direduksi dengan dihilangkannya ketentuan 15% di penggantian hak, dihapuskannya ketentuan tentang alasan dan perhitungan kompensasi PHK di berbagai pasal di UU No. 13 Tahun 2003 yang akan diatur di PP merupakan bagian dari proses menurunkan perlindungan pekerja ketika harus mengalami PHK.
Demikian juga dengan dipermudahnya pelaksanaan Tenaga Kerja Asing (TKA), jam kerja yang lebih fleksibel serta Jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) yang akan menurunkan imbal hasil JHT buruh, adalah bagian dari penurunan kesejahteraan buruh dan keluarganya.
Seluruh ketentuan material di atas merupakan pelanggaran hak konstitusional pekerja/buruh dan keluarganya, seperti yang diamanatkan UUD 1945 yaitu hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak serta hak mendapatkan jaminan sosial.
Dari seluruh uraian di atas, oleh karenanya, Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia (KRPI) menyatakan menolak isi UU Cipta Kerja. Atas sikap ini maka kami KRPI akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas seluruh isi klaster ketenagakerjaan di UU Cipta Kerja. KRPI pun berharap seluruh komponen pekerja bahu membahu menolak isi UU Cipta Kerja ini dengan tetap menjaga keselamatan pekerja dari bahaya Covid-19.