PajakOnline.com—Pemerintah memungut pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10% atas transaksi platform produk digital kepada para pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) sejak awal Bulan Juli 2020 ini sesuai pemberlakuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48 Tahun 2020. Pengenaan pajak ini berlaku, baik produk digital dari dalam maupun luar negeri
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama mengatakan, potensi pajak digital di Indonesia cukup besar. Mengingat saat ini seluruh aktivitas ekonomi mulai mengalami transformasi dari konvensional ke digital.
“Kita melihat pertama terjadi landscape ekonomi dari yang selama ini berwujud ini sudah mulai mengarah kepada ekonomi digital dan kita melihat ke depan itu akan semakin besar,” kata Yoga dalam acara Market Review IDX Channel pada Kamis (2/7/2020).
Namun, Yoga tidak menyebutkan berapa besaran potensi pajak digital di Indonesia. Berdasarkan data dari IDX Channel, potensi pajak digital di Indonesia hingga saat ini mencapai Rp7,9 triliun.
Adapun rinciannya adalah, pajak digital yang berasal dari layanan streaming musik seperti Spotify hingga JOOQ mencapai Rp2,2 triliun. Sedangkan layanan streaming film seperti Netflix hingga Apple TV mencapai Rp2,5 triliun.
Belum lagi, potensi pajak dari layanan game online. Jika dirinci, potensi pajak yang bisa didapat dari game online seperti Warcraft hingga Fortnite mencapai Rp3,2 triliun.
Oleh karena itu, hal ini menjadi landasan bagi Pemerintah untuk melakukan pemajakan produk digital. Perusahaan penyedia penyelenggara platform produk digital terutama dari luar negeri telah mengambil manfaat ekonomi atau keuntungan yang siginifikan dari Indonesia.
Selain itu, langkah ini juga dilakukan untuk memberikan rasa keadilan bagi para pemain digital di dalam negeri. Mengingat, para pemain digital dari dalam negeri, karena bentuk usaha tetap (BUT) secara fisik berkantor di Indonesia, sudah dikenakan PPN sebesar 10%.
Yoga menyebutkan, berdasarkan data yang ada di dalam analisis statistik potensi pajak digital cukup besar. Beberapa kajian pun telah dilakukan oleh pihaknya untuk bagaimana kemudian melihat itu sebagai sebuah peluang potensi penerimaan negara. “Oleh karena itu kami melihat cepat harus memberikan fairness kepada digital dan non digital dari dalam dan luar negeri,” kata Yoga.
Hingga saat ini DJP masih terus melakukan sosialisasi secara one on one meeting dengan para pelaku perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) luar negeri mengenai pemajakan ini. Sudah ada, beberapa perusahan penyedia penyelenggara platform digital dari luar negeri yang sudah siap ditunjuk menjadi pemungut PPN. “Sehingga yang nanti akan kami tunjuk semakin banyak mereka yang masuk skema ini,” kata Yoga.
Sementara itu, Managing Directors PajakOnline Consulting Group Abdul Koni mengatakan, pemerintah dapat mengejar pajak digital dari para pelaku PMSE terutama dari luar negeri seperti Netflix, Zoom, Facebook, dan lainnya karena mereka telah mengambil manfaat ekonomi (significant economic presence) dari Indonesia. Kebijakan ini berlaku untuk perusahaan di dalam negeri dan luar negeri.
“Kita lihat bersama dari sisi fairness karena mereka telah mendapatkan keuntungan signifikan di Indonesia. Namun, pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan melalui DJP perlu memerhatikan implementasi pemajakan dan pengawasan yang melekat dalam penyetoran PPN dari para PMSE yang sudah ditunjuk sebagai pemungut PPN. Agar uang pajaknya benar-benar dilaporkan dan disetor sesuai dengan jumlah uang pajak yang dipungut dari konsumen mereka,” kata Koni.