Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
PajakOnline | Presiden Prabowo Subianto akhirnya melakukan reshuffle kabinet kedua pada 9 September 2025. Lima menteri diganti, termasuk Menteri Keuangan Sri Mulyani yang posisinya kini ditempati oleh Purbaya Yudhi Sadewa.
Selang beberapa hari setelah dilantik, Purbaya langsung melakukan ‘gebrakan Rp200 triliun’. Purbaya menilai, kebijakan ekonomi Indonesia selama ini salah arah, baik dari sisi moneter maupun fiskal.

Menurut Purbaya, penempatan dana pemerintah sebesar Rp457,5 triliun di Bank Indonesia (BI) per akhir 2024, yang berasal dari Saldo Anggaran Lebih (SAL), telah memperketat likuiditas perbankan, dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Sebagai solusi, Purbaya memutuskan untuk memindahkan sebagian dana SAL tersebut, senilai Rp200 triliun, dari BI ke enam bank umum negara. Menurutnya, langkah ini merupakan bentuk pelonggaran likuiditas yang diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi hingga mencapai 6,5-7 persen.
Namun demikian, ‘gebrakan 200 triliun’ ini patut dipertanyakan. Kebijakan tersebut dikhawatirkan tidak akan efektif dalam mengatasi perlambatan ekonomi yang sedang terjadi. Setidaknya ada beberapa alasan yang mendasari keraguan tersebut, antara lain:
Pertama, permasalahan utama perekonomian Indonesia saat ini bukan karena kekurangan likuiditas di sektor perbankan. Sebaliknya, kondisi likuiditas perbankan nasional saat ini justru relatif longgar.
Hal ini tercermin dari dua indikator.
Satu, Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan saat ini relatif rendah, yaitu sekitar 86–88 persen. Angka ini menunjukkan likuiditas perbankan masih cukup longgar, dengan ketersediaan dana pihak ketiga yang lebih besar dibandingkan penyaluran kredit.
Dua, penempatan likuiditas perbankan dalam Surat Berharga Negara (SBN) dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) juga sangat besar, mendekati Rp1.900 triliun. Besarnya alokasi dana ini juga menunjukkan bahwa likuiditas perbankan berlimpah, tetapi tidak terserap ke dalam kredit.
Kedua indikator tersebut secara jelas menegaskan bahwa perbankan nasional saat ini menghadapi kondisi kelebihan likuiditas, bukan kekurangan likuiditas.
Kedua, pemindahan dana SAL pemerintah sebesar Rp200 triliun dari BI ke bank-bank umum BUMN tidak dapat dikategorikan sebagai kebijakan fiskal maupun moneter yang bersifat ekspansif.
Karena, stimulus fiskal (ekspansif) hanya dapat dilakukan melalui dua cara. Yaitu pemberian insentif perpajakan (dengan mengurangi beban pajak masyarakat) dan/atau peningkatan belanja negara: bukan dengan pemindahan dana pemerintah dari BI ke bank-bank umum negara.
Dengan demikian, kebijakan pemindahan dana tersebut diperkirakan tidak akan mampu meningkatkan likuiditas perbankan maupun mempercepat pertumbuhan kredit.
Dampaknya pun kemungkinan hanya terbatas pada program-program khusus, seperti penyaluran kredit untuk Koperasi Merah Putih, yang sebelumnya telah dirancang oleh Menteri Keuangan terdahulu, Sri Mulyani, seperti diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 63 Tahun 2025 tentang Penggunaan Saldo Anggaran Lebih pada Tahun Anggaran 2025 untuk Pemberian Dukungan kepada Bank yang Menyalurkan Pinjaman kepada Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, yang diterbitkan pada 28 Agustus 2025.
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, Purbaya sebaiknya menjalankan kebijakan fiskal yang benar-benar ekspansif seperti dijelaskan di atas: yaitu melalui pengurangan pajak dan/atau peningkatan belanja negara. Bukan sekedar pemindahan dana dari BI ke bank-bank umum negara.
Sedangkan dana SAL sebaiknya digunakan untuk membiayai defisit anggaran, dari pada disimpan di bank umum negara. Dengan demikian, pemanfaatan SAL dapat mengurangi kebutuhan pembiayaan melalui utang baru, sekaligus menurunkan beban bunga yang harus ditanggung APBN.