Oleh Raden Agus Suparman
PajakOnline.com—Sejak berlakunya Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga UU KUP, DJP memiliki kewenangan untuk meminta data-data yang diperlukan kepada instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain.
Kewenangan tersebut diatur dalam Pasal 35A Undang-Undang KUP. Biasanya internal DJP menyebut data dimaksud sebagai data ILAP, yakni singkatan dari Instansi, Lembaga, Asosiasi, dan Pihak lain.
Kewenangan tersebut kemudian dirinci dengan peraturan menteri keuangan. Terakhir diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 228/PMK.03/2017 tentang Rincian Jenis Data dan Informasi Serta Tata Cara Penyampaian Data dan Informasi Yang Berkaitan Dengan Perpajakan.
Berdasarkan peraturan ini, ada 69 ILAP yang harus menyampaikan data ke DJP dengan ratusan jenis data. Data-data tersebut kemudian diolah lagi di Direktorat Data dan Informasi Perpajakan. Digabungkan dengan data internal laporan Wajib Pajak, data ILAP dapat menjadi bahan analisis untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak.
Data-data tersebut sangat banyak, dalam praktiknya tidak semua data dimanfaatkan. Para analis perpajakan memiliki prioritas Wajib Pajak mana yang akan dilakukan analisis, selanjutnya mencari data.
Tahun 2022 ini merupakan saat yang tepat untuk memanfaatkan semua data yang ada. Selain tahun depan akan ada perubahan “coretax” dari SIDJP ke SIAP, juga tahun ini ada Program Pengungkapan Sukarela (PPS).
DJP kemudian membandingkan data SPT dengan data ILAP. Jika Wajib Pajak tidak melaporkan data ILAP di daftar harta, maka di bulan ini akan diberikan surat imbauan.
Nomor suratnya dimulai dengan “S-Imb…”. Surat ini bukan SP2DK yang bermaksud meminta klarifikasi dan permintaan informasi. Justru surat ini merupakan pemberian informasi tentang data harta yang dimiliki oleh Wajib Pajak tetapi belum dilaporkan di SPT Tahunan.
Surat ini juga memberikan imbauan kepada Wajib Pajak untuk mengikuti PPS. Tapi, apakah harta yang diikutkan PPS sebatas data tersebut? Prinsipnya data yang diikutkan PPS adalah harta kita miliki yang belum masuk ke SPT Tahunan tahun pajak 2020. Baik yang ada di surat imbauan tersebut maupun tidak.
Pertanyaan yang paling sering diajukan Wajib Pajak yaitu “apakah wajib mengikuti PPS?” Sebenarnya PPS adalah insentif. Bersifat boleh. Boleh ikut, dan boleh tidak ikut. Justru yang wajib itu lapor SPT Tahunan.
Apakah surat imbauan wajib dijawab dengan PPS? Kembali kepada wajib pajak, silakan memilih apakah data harta tersebut akan dilaporkan melalui SPT Tahunan atau melalui PPS. Keputusan ada di wajib pajak.
Jika pelaporan tambahan harta di SPT Tahunan tidak menyebabkan tambahan utang pajak, saran saya tambahan harta tersebut lebih baik dilaporkan di SPT Tahunan, baik SPT normal maupun SPT pembetulan.