PajakOnline | Pemerintah Indonesia menegaskan komitmennya menerapkan Pajak Minimum Global (Global Minimum Tax/GMT) mulai tahun pajak 2025, kendati Amerika Serikat (AS) secara resmi menarik dukungan terhadap kerangka global tersebut.
Aturan pelaksanaan di Indonesia diformalkan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2024 (PMK 136/2024), yang mengadopsi mekanisme dari Pilar Dua GloBE — termasuk ketentuan seperti Income Inclusion Rule (IIR), Qualified Domestic Minimum Top-up Tax (QDMTT), dan Undertaxed Payment Rule (UTPR).
Dengan demikian, kelompok perusahaan multinasional dengan omzet konsolidasi global minimal €750 juta (atau setara dengan ambang yang ditetapkan dalam regulasi) diwajibkan membayar pajak efektif paling tidak 15% atas laba mereka. Jika pajak yang dibayar di suatu yurisdiksi berada di bawah angka tersebut, maka pajak “top-up” akan dikenakan.
Mengapa Indonesia Masih Melangkah, Terlepas dari Sikap AS
Amerika Serikat (AS) di bawah pimpinan pemerintahan baru menyatakan bahwa kesepakatan pajak minimum global tidak lagi berlaku di negaranya, melalui memorandum resmi yang menyebut bahwa Global Tax Deal “tidak memiliki kekuatan hukum” di AS.
Negara ini memilih mempertahankan rezim pajak sendiri, yakni Global Intangible Low‑Taxed Income (GILTI), sebagai alternatif terhadap GloBE. Meski demikian, sebagian besar negara lain, termasuk Indonesia tetap melanjutkan implementasi GMT, mengacu pada komitmen internasional melalui kerangka OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS.
Pemerintah Indonesia, melalui regulasi domestik, telah menyiapkan mekanisme pelaporan dan pembayaran, termasuk tenggat bagi pembayaran top-up tax serta pelaporan bagi entitas yang tercakup.
Dampak bagi Korporasi dan Konteks Investasi di Indonesia
Menurut Ketua Tax Payer Community Abdul Koni, dengan GMT berlaku di Indonesia, perusahaan multinasional harus menyesuaikan struktur pajak dan strategi fiskalnya agar memenuhi tarif minimum 15%. “Bagi perusahaan yang selama ini memanfaatkan fasilitas insentif pajak seperti tax-holiday atau tax-allowance, kebijakan baru bisa mengurangi efektivitas insentif tersebut,” kata Koni.
Pemerintah menyadari kemungkinan dampak terhadap iklim investasi, sehingga tengah mempertimbangkan pemberian insentif alternatif terutama insentif nonfiskal agar daya tarik investasi tetap terjaga.
Menurut rencana, implementasi penuh GMT di Indonesia dijadwalkan pada 2026, saat seluruh mekanisme (IIR, QDMTT, UTPR) sudah berlaku secara penuh dan administrasi pelaporan serta pembayaran top-up tax sudah siap.
Koni mengatakan, keputusan AS untuk mundur dari GloBE dan mempertahankan rezim pajak sendiri menunjukkan divergensi kebijakan global pasca-pandemi terhadap perusahaan multinasional.
Namun bagi Indonesia, sambung Koni, komitmen terhadap GMT berarti berupaya memperkuat tata kelola fiskal, mengurangi keresahan karena “tax haven”, dan mendukung keadilan pajak bagi perusahaan besar.
“Dengan dasar hukum dan administrasi yang telah disiapkan, pemerintah berharap GMT dapat memperkuat penerimaan pajak dan mencegah praktik penghindaran pajak sambil tetap menjaga stabilitas iklim investasi melalui penyesuaian insentif,” pungkas Koni.
































