PajakOnline.com—Selain bertugas melakukan penyuluhan kepada Wajib Pajak, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga melakukan kegiatan penegakkan hukum. DJP juga memperkuat pencegahan praktik penghindaran pajak dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan.
Penggelapan adalah aktivitas yang dilakukan secara ilegal terhadap objek pajak yang dilakukan Wajib Pajak perorangan maupun korporasi. Penggelapan pajak dapat berupa tidak melaporkan data yang benar kepada otoritas perpajakan dengan tujuan mengurangi liabilitas pajaknya. Data-data tersebut dapat berupa data penghasilan pribadi hingga data keuntungan perusahaan.
Regulasi yang mengindikasikan bahwa Wajib Pajak orang pribadi atau badan melakukan penggelapan pajak, yakni Pasal 38 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Perpajakan (UU KUP). Dalam regulasi tersebut didefinisikan bahwa aktivitasi penggelapan pajak, sebagai berikut:
1. Tidak melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan; atau
2. Melaporkan SPT tahunan, tetapi isinya tidak benar, tidak lengkap, dan melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Atas aktivitas itu, Wajib Pajak akan didenda paling sedikit 1 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar; paling banyak 2 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar; atau dipidana kurungan paling singkat 3 bulan atau paling lama 1 tahun.
Sedangkan berdasarkan Pasal 39 Ayat 1 UU KUP, Wajib Pajak orang pribadi atau badan dianggap melakukan penggelapan pajak jika:
1. Dengan sengaja tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP)
2. Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau pengukuhan PKP
3. Menolak untuk dilakukan pemeriksaan
4. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya
5. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Risikonya, Wajib Pajak akan dipidana paling singkat 6 bulan, paling lama 6 tahun, dan denda paling sedikit 2 kali jumlah pajak terutang
6. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain
7. Tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (11).
Penghindaran pajak atau tax avoidance adalah aktivitas perpajakan yang bisa melanggar peraturan, karena menggunakan niat meringankan beban pajak dengan menggunakan celah dalam peraturan perpajakan.
Sekalipun tax avoidance dipercaya sah dan tidak menyalahi aturan, kegiatan ini akan merugikan negara. James Kessler, seseorang pengacara/konsultan pajak dari Inggris membagi dua jenis tax avoidance, yaitu:
1. Acceptable tax avoidance, adalah penghindaran pajak yang diperbolehkan dengan karakteristik memiliki tujuan yang baik, bukan untuk menghindari pajak dan tidak melakukan transaksi palsu.
2. Unacceptable tax avoidance, merupakan penghindaran pajak yang tidak diperbolehkan dengan karakteristik tidak memiliki tujuan yang baik. Sebab dilakukan secara nyata untuk menghindari pajak dan menciptakan transaksi palsu.
Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan, instrumen pencegahan penghindaran pajak, sebagai berikut:
1. Prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle) atau prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (PKKU)
2. Pengaturan mengenai penetapan pihak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian, sepanjang terdapat ketidakwajaran penetapan harga
3. Penentuan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan dilakukan dengan menentukan harga transfer sesuai PKKU untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak; penentuan harga transfer sesuai PKKU dilakukan dengan menggunakan metode perbandingan harga antar pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya, dan sebagainya
4. Menggunakan instrumen pencegahan yang spesifik atau specific anti-avoidance rules (SAAR) terhadap transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa berupa pengaturan controlled foreign company; penentuan penghasilan, biaya, serta thin capitalisation, penetapan pihak pembelian saham atau aktiva melalui pihak lain (special purpose company), penetapan pihak penjualan atau pengalihan saham di tax haven country (conduit company); menghitung ulang berdasarkan benchmarking usaha sejenis jika laba terlalu kecil atau rugi tidak wajar, meskipun sudah melakukan penjualan 5 tahun dan rugi fiskal 3 tahun berturut-turut
5. Pengaturan mengenai penetapan pihak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian, sepanjang terdapat ketidakwajaran penetapan harga
6. enentuan kembali besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, kegiatan, atau jasa dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan di luar negeri. Hal ini dilakukan dengan memerhatikan tingkat penghasilan yang wajar atau seharusnya diperoleh Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan. Sebagai informasi, hubungan istimewa merupakan keadaan ketergantungan atau keterikatan satu pihak dengan pihak lainnya yang disebabkan oleh kepemilikan atau penyertaan modal, penguasaan, atau hubungan keluarga sedarah atau semenda
7. Advance pricing agreement (APA), merupakan perjanjian tertulis antara dirjen pajak dan Wajib Pajak (unilateral), atau antara dirjen pajak dan satu atau lebih otoritas pajak pemerintah negara mitra, atau yurisdiksi mitra persetujuan penghindaran pajak berganda yang melibatkan Wajib Pajak (bilateral atau multilateral)
8. Penghitungan kembali besarnya pajak yang seharusnya terutang dengan tidak membebankan pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri kepada Wajib Pajak luar negeri sebagai biaya yang mengurangi penghasilan. Kondisi itu akibat dari pemanfaatan perbedaan perlakuan perpajakan suatu instrumen atau entitas yang dapat mempunyai lebih dari satu karakteristik di negara atau yurisdiksi di mana Wajib Pajak berdomisili
9. Mutual agreement procedure (MAP), merupakan alternatif bagi Wajib Pajak untuk menyelesaikan sengketa yang menimbulkan pemajakan berganda atau apabila terdapat indikasi bahwa tindakan otoritas negara mitra menyebabkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) atau sengketa transfer pricing. (Wiasti Meurani)