PajakOnline.com—Posisi utang pemerintah pada September 2023 naik mencapai Rp7.891,61 triliun, dari bulan sebelumnya Rp7.870,35 triliun (month-on-month/MoM). Mengutip data APBN Kita Edisi Oktober 2023 ini, rasio utang pemerintah pada September 2023 tercatat sebesar 37,95% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan periode Agustus 2023, 37,84% terhadap PDB. Jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu, rasio utang pemerintah mengalami penurunan, dibandingkan dengan 39,3% dari PDB pada September 2022.
Rinciannya, perkembangan komposisi utang pemerintah per September 2023 tercatat didominasi oleh utang domestik yaitu 72,07%. Berdasarkan instrumennya, komposisi utang pemerintah mayoritas berupa Surat Berharga Negara (SBN) yang mencapai 88,86%.Kemenkeu menyebut, pemerintah mengutamakan pengadaan utang dengan tenor menengah panjang dan melakukan pengelolaan portofolio utang secara aktif.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan bahwa rasio utang pemerintah pada September 2023 terjaga di bawah batas aman 60% PDB sesuai UU No. 17/2003, juga masih sesuai dengan Strategi Pengelolaan Utang Jangka Menengah 2023-2026 dengan rasio di kisaran 40%.
Pengelolaan utang pemerintah disebutkan tetap baik, tercermin dari hasil asesmen Lembaga pemeringkat kredit pada 2023 yang mempertahankan sovereign rating Indonesia pada level investment grade, antara lain oleh S&P dan Fitch (BBB/ Stable), serta peningkatan outlook menjadi positif oleh R&I (BBB+/positive).
“Pemerintah senantiasa melakukan pengelolaan utang secara hati-hati dengan risiko yang terkendali melalui komposisi yang optimal, baik terkait mata uang, suku bunga, maupun jatuh tempo,” demikian dikutip dari Laporan APBN Kita Edisi Oktober 2023, hari ini.
Kemenkeu melaporkan bahwa kepemilikan investor individu dalam SBN domestik terus mengalami peningkatan sejak 2019 yang hanya mencapai 2,95% menjadi 7,38% pada akhir September 2023.
Sementara itu, kepemilikan SBN domestik terbesar yaitu perbankan, di mana per akhir September 2023 mencapai 29,73%, kemudian diikuti perusahaan asuransi dan dana pensiun yang memegang sekitar 18,35%. Selanjutnya, kepemilikan oleh Bank Indonesia adalah sebesar 16,91% antara lain digunakan sebagai instrumen pengelolaan moneter.
“Asing hanya memiliki SBN domestik sekitar 14,95 persen termasuk kepemilikan oleh pemerintah dan bank sentral asing” tulis Kemenkeu.
Sisa kepemilikan SBN dipegang oleh institusi domestik lainnya untuk memenuhi kebutuhan investasi dan pengelolaan keuangan institusi bersangkutan. Kemenkeu menegaskan, guna meningkatkan efisiensi pengelolaan utang dalam jangka panjang, pemerintah terus berupaya mendukung terbentuknya pasar SBN domestik yang dalam, aktif, dan likuid.
Salah satu strateginya adalah melalui pengembangan berbagai instrumen SBN, termasuk pengembangan SBN tematik berbasis lingkungan (Green Sukuk) dan SDGs (SDG Bond dan Blue Bond). Pemerintah pun mendorong digitalisasi dalam proses penerbitan dan penjualan SBN yang didukung dengan sistem online, sehingga mampu membuat pengadaan utang melalui SBN menjadi semakin efektif dan efisien, serta kredibel.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, realisasi pembiayaan utang pemerintah hingga September 2023 mencapai Rp198,9 triliun. Realisasi itu turun 58,6% jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu.
“Dibandingkan tahun lalu, kita mengalami penurunan yang sangat tajam dari pembiayaan utang. Tahun lalu sampai September itu kita pembiayaan utangnya mencapai Rp480 triliun, jadi ini turun drop 58,6%,” katanya dalam Konferensi Pers APBN Kita, Rabu (25/10/2023).
Menkeu mengatakan pihaknya akan terus berkoordinasi dengan Bank Indonesia di tengah situasi global yang melonjak dan meningkatnya tekanan terhadap berbagai indikator, seperti nilai tukar dan sisi suku bunga.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memprediksi pada akhir 2023, outstanding utang pemerintah akan berada pada kisaran Rp8.000 triliun hingga Rp8.100 triliun.
Bhima menyampaikan, perkiraan utang tersebut akan lebih besar pada 2024, mengingat pemerintah telah merencanakan penarikan utang baru tahun depan sebesar Rp648,1 triliun. “Jadi tahun depan (2024) lebih besar dari 8.100 triliun,” katanya.
Menurut Bhima, belanja pemerintah yang cenderung populis seperti kenaikan gaji ASN sebesar 8 persen dan anggaran perlindungan sosial yang hampir menyentuh Rp500 triliun, serta subsidi energi, didorong oleh besarnya kebutuhan pembayaran bunga utang menjadi pemicu naiknya penerbitan utang baru.
Bhima juga melihat adanya tantangan pada tahun depan, di mana likuiditas global masih dilanda ketidakpastian terutama sejak naiknya suku bunga The Fed secara agresif di 2022-2023 sehingga mempengaruhi penyerapan surat berharga negara (SBN) valas. Sejalan dengan hal itu, penerbitan SBN yang didorong dipasar domestik masih ada risiko menyedot likuiditas.