Oleh: Ishak, Penyuluh Pajak Kanwil DJP Banten
PajakOnlineĀ | Emas bukan sekadar logam mulia. Ia telah menjadi simbol kekayaan, alat lindung nilai, dan instrumen investasi yang dipercaya lintas generasi. Di tengah ketidakpastian ekonomi global, emas tetap menjadi pilihan utama bagi banyak orang untuk menjaga nilai aset mereka.
Di Indonesia, tren investasi emas terus meningkat, baik dalam bentuk batangan maupun perhiasan, seiring dengan berkembangnya platform digital dan kesadaran masyarakat akan pentingnya diversifikasi aset.
Melihat potensi besar ini, pemerintah melalui Kementerian Keuangan

menerbitkan dua regulasi penting pada tahun 2025, yaitu PMK Nomor 51 dan PMK Nomor 52. Kedua peraturan ini mengatur ulang mekanisme perpajakan atas emas, dengan tujuan menyederhanakan proses, meningkatkan kepatuhan, dan menciptakan ekosistem perdagangan emas yang lebih sehat dan transparan.
Namun, bagaimana posisi kebijakan pajak emas Indonesia jika dibandingkan dengan negara lain? Apakah kita sudah cukup kompetitif dalam menarik investor dan pelaku usaha?
Artikel ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan membandingkan kebijakan Indonesia dengan beberapa negara yang menjadi pusat perdagangan emas dunia.
PMK 51/2025 mengatur pemungutan PPh Pasal 22 atas penyerahan emas batangan, baik oleh produsen kepada pedagang maupun dalam kegiatan impor. Tarif yang dikenakan sebesar 0,25% dari harga jual, namun konsumen akhir dibebaskan dari kewajiban ini.
Selain itu, wajib pajak yang memiliki Surat Keterangan Bebas (SKB) juga dapat dikecualikan dari pemungutan.
Sementara itu, PMK 52/2025 yang merupakan revisi dari PMK 48/2023, mengatur PPN atas emas perhiasan dan jasa terkait. Tarif PPN ditetapkan sebesar 1,1% untuk transaksi antar pelaku usaha, dan 1,65% untuk penjualan langsung ke konsumen akhir. Jasa seperti desain, reparasi, dan finishing emas juga termasuk dalam objek pajak.
Kedua regulasi ini dirancang untuk memberikan kepastian hukum, menyederhanakan administrasi, dan mendukung digitalisasi perdagangan emas, termasuk melalui platform bullion bank dan e-commerce.
Perbandingan dengan Negara Lain
Singapura membebaskan GST (Goods and Services Tax) untuk emas batangan yang memenuhi syarat sebagai emas investasi, yaitu memiliki kemurnian minimal 99,5% dan berbentuk standar bullion. Kebijakan ini bertujuan menjadikan Singapura sebagai pusat perdagangan emas di Asia. Hasilnya, negara ini berhasil menarik banyak investor dan pelaku usaha karena efisiensi biaya transaksi.
Di AS, emas tidak dikenai PPN, namun dianggap sebagai ācollectibleā. Artinya, saat dijual dan menghasilkan keuntungan, emas dikenai capital gains tax dengan tarif hingga 28%.
Kebijakan ini mendorong investor untuk lebih berhati-hati dalam menentukan waktu dan strategi penjualan emas mereka.
India menerapkan GST sebesar 3% atas emas batangan dan perhiasan, serta bea masuk tinggi untuk emas impor, yang bisa mencapai 12,5%. Tujuan utamanya adalah mengendalikan defisit neraca perdagangan dan mendorong produksi emas dalam negeri.
Namun, tingginya tarif ini juga memicu maraknya pasar gelap dan penyelundupan emas. Australia membebaskan GST 10% untuk emas batangan yang memenuhi syarat sebagai emas investasi. Namun, emas dalam bentuk perhiasan tetap dikenai GST. Kebijakan ini memberikan insentif bagi investor ritel dan institusi untuk berinvestasi dalam emas murni.
Indonesia dengan tarif PPN 1,1%ā1,65% dan PPh 0,25%, serta pembebasan pajak untuk konsumen akhir, Indonesia menempuh jalur moderat. Kebijakan ini tidak terlalu membebani pelaku usaha maupun masyarakat, namun tetap menjaga potensi penerimaan negara.
Analisis dan Implikasi
Dari perbandingan di atas, terlihat bahwa Indonesia berada di posisi yang cukup seimbang. Tarif pajak yang relatif rendah dan sistem yang lebih sederhana memberikan ruang bagi pelaku usaha untuk tumbuh, sekaligus mendorong masyarakat untuk berinvestasi secara legal dan transparan.
Namun, tantangan tetap ada. Tingkat literasi perpajakan di kalangan pelaku usaha kecil dan konsumen masih perlu ditingkatkan. Selain itu, pengawasan terhadap transaksi informal juga harus diperkuat agar kebijakan ini tidak disalahgunakan.
Di sisi lain, peluang besar terbuka lebar. Dengan dukungan regulasi yang jelas dan infrastruktur digital yang terus berkembang, Indonesia berpotensi menjadi pusat perdagangan emas digital di Asia Tenggara. Hal ini akan memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok emas global dan membuka peluang baru bagi pelaku usaha lokal.
Kebijakan perpajakan atas emas bukan hanya soal angka dan tarif. Ia mencerminkan arah kebijakan ekonomi, visi fiskal, dan komitmen pemerintah dalam menciptakan ekosistem investasi yang sehat. Melalui PMK 51/2025 dan PMK 52/2025, Indonesia menunjukkan langkah maju dalam menyelaraskan regulasi dengan dinamika pasar dan praktik internasional.
Dengan pendekatan yang moderat, transparan, dan adaptif, Indonesia tidak hanya menjaga potensi penerimaan negara, tetapi juga membuka jalan bagi pertumbuhan industri emas yang inklusif dan berkelanjutan. Dan pada akhirnya, memahami pajak bukan sekadar kewajiban, tetapi
bentuk kontribusi nyata dalam membangun negeri.
*) Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis, bukan cerminan instansi tempat penulis bekerja.