PajakOnline.com—Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Mardani H Maming mengatakan, HIPMI mendukung penerapan new normal yang dicanangkan pemerintah. Pengusaha sepakat untuk mendukung adanya upaya beradaptasi dengan pandemi corona atau Covid-19 ini agar perekonomian dapat kembali pulih dan jumlah karyawan yang di-PHK tidak lagi bertambah.
“Oleh karena itu, kami meminta agar anggaran insentif perpajakan dimaksimalkan oleh pemerintah,” kata Maming dalam keterangan pers yang kami kutip hari ini Jumat (29/5/2020).
Maming meminta pemerintah tepat sasaran dalam memberikan insentif pajak. Jika tidak, berapapun besarnya insentif tidak akan berdampak signifikan dalam memulihkan ekonomi.
“Kita concern terhadap insentif perpajakan untuk para pengusaha di sektor-sektor yang terdampak pada masa pandemi Covid-19 ini. Dampak terhadap sektor ekonomi tentu tidak dapat dielakkan lagi. Pertumbuhan ekonomi dunia diproyeksikan akan terkontraksi makin dalam,” kata dia.
Menurutnya, fokus kebijakan pemerintah perlu menyasar kepada sektor riil. Pemerintah harus memastikan stimulus yang diinjeksi menciptakan efek berganda kepada roda ekonomi nasional. Seperti program kartu prakerja seharusnya dialihkan ke hal yang lebih riil.
Kelonggaran Pajak untuk Seluruh Sektor Usaha
Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan BPP HIPMI Ajib Hamdani mengatakan, semua sektor usaha terdampak pandemi Covid-19. Idealnya, untuk membantu sektor usaha saat pandemi ini, secara total sekitar empat bulan, pemerintah dapat menyiapkan dana sekitar Rp6 triliun hingga Rp70 triliun. Karena penerimaan pajak PPh 21 dan 22 impor pada 2019 totalnya sekitar Rp200 triliun.
“Pemberian insentif pajak merupakan langkah positif pemerintah untuk mendorong perekonomian. Insentif kebijakan nonfiskal akan berdampak positif untuk menormalisasi membantu ekspor impor yang sedang melandai di dalam negeri,” kata Ajib.
Ajib mengatakan, kebijakan ini sangat tepat kepada dunia usaha untuk memberikan ruang arus kas atau cash flow dan membantu likuiditas perusahaan. “Pemerintah seharusnya melonggarkan perpajakan untuk seluruh sektor usaha dan tidak hanya terbatas sektor manufaktur,” kata dia.
Semua sektor usaha juga terdampak. Jika hanya sektor manufaktur yang diberikan insentif PPh 21, 22 dan 25, pertimbangannya sulit diterima.
Selain itu, pelonggaran PPh 21 belum tentu memberikan dampak langsung terhadap penghasilan karyawan. Ajib berharap, pemerintah mesti menghitung potensi pengurangan pendapatan pajak secara presisi.
“Jangan sampai di akhir tahun menjadi beban tambahan untuk menambah utang pemerintah,” ungkapnya.
Sementara itu, pengamat perpajakan dari PajakOnline Consulting Group Abdul Koni mengapresiasi kebijakan perpajakan pemerintah dalam penanganan dampak pandemi.
“Pemerintah cukup responsif dalam menyikapi dampak Covid-19 terhadap dunia usaha dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan fiskal, antara lain, insentif perpajakan. Namun, apakah insentif pajak ini cukup mampu meringankan beban pengusaha? Tentu harus dilihat sampai kapan pandemi ini berlangsung,” kata Koni.
Di sektor UMKM, Koni mengatakan, pemerintah sudah memberikan insentif perpajakan yang maksimal yaitu berupa PPh final 0,5% ditanggung pemerintah (DTP). Artinya UMKM bebas pajak sejak April sampai September 2020, sesuai ketentuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 44 Tahun 2020 yang mengatur Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Covid-19.
Sedangkan untuk sektor selain UMKM, menurut Koni, sebenarnya insentif yang didapat bukan pembebasan pajaknya, namun penundaan pembayaran kewajiban pajak. Pengurangan angsuran PPh Pasal 25, pembebasan PPh 22 Impor adalah bersifat penundaan pembayaran kewajiban pajak karena pada saat berakhirnya periode tahun pajak nanti, wajib pajak akan diwajibkan membayar kewajiban pajaknya sesuai dengan ketentuan UU PPh.
“Insentif perpajakan memang belum mampu secara maksimal mengurangi beban pengusaha. Karena urusan pajak mungkin hanya sebagian kecil dari beban yang dipikul pengusaha di masa pandemi. Namun, kebijakan tersebut, memastikan bahwa pemerintah sudah hadir dan membantu dunia usaha. Ini yang patut kita apresiasi,” kata Koni.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama mengatakan, besarnya insentif pajak sudah mencakup hampir keseluruhan sektor, termasuk UMKM bahkan karyawan perusahaan, dan sudah mengurangi beban pajak para pengusaha secara cukup signifikan.
Yoga mengungkapkan, kapasitas penerimaan pajak (apabila dilihat dari tax ratio kita yang masih rendah, atau tax expenditure yang sudah tinggi), tidak memungkinkan kita memberikan insentif (tax cut) secara besar-besaran. Sedangkan di sisi lain, penerimaan pajak masih menjadi andalan penerimaan negara saat ini.
“Disamping itu juga mesti dilihat bahwa insentif pajak ini hanya sebagian (kecil) dari berbagai stimulus fiskal yang diberikan oleh Pemerintah, seperti relaksasi kredit usaha, penjaminan modal kerja, bansos, dan lain-lain. Selain juga adanya berbagai stimulus moneter yang juga diluncurkan untuk menggerakkan perekonomian nasional di tengah pandemi Covid-19,” kata Yoga.































