PajakOnline | Sepanjang tahun 2024 ini perekonomian nasional masih diwarnai keprihatinan. Setelah dihantam pandemi, pemulihan ekonomi tidak semudah yang dibayangkan. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut tahun ini. Kalangan ekonom menilai kondisi ini menandakan daya beli masyarakat merosot semakin melemah.
“Deflasi pada September 2024 terlihat lebih dalam dibandingkan Agustus 2024, dan ini merupakan deflasi kelima pada tahun 2024 secara bulanan,” kata Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers di Jakarta, pada awal Oktober 2024 lalu.
Ekonom INDEF Tauhid Ahmad mengungkapkan, perekonomian Indonesia sedang tidak baik-baik saja. “Saya kira ini memang pelemahan ekonomi, secara struktur. Bukan hanya soal daya beli, tetapi di banyak aspek misalnya struktur ekspor impor, konsumsi pemerintah dan investasi juga trennya menurun. Bukan hanya soal daya beli, karena tendensi putaran misalnya PMI di bawah 50, kemudian penjualan kendaraan roda dua stagnan, itu menunjukkan bahwa kinerja ekonomi yang lain juga terpengaruh. Memang daya beli faktor dominan, tetapi faktor lain juga mengalami tren stagnan, bahkan ada yang lebih rendah,” kata Tauhid seperti dilansir VOA.
Dia menjelaskan, permasalahan utama pada saat ini adalah kesulitan masyarakat memenuhi kebutuhan pokok karena dalam kurun waktu satu tahun terakhir harga pangan mengalami kenaikan luar biasa. Fenomena deflasi, tegasnya, terjadi karena masyarakat tidak mampu untuk membeli.
Sementara itu, Ketua Tax Payer Community Abdul Koni mengatakan, daya beli masyarakat yang terus menurun ini perlu untuk diwaspadai dan segera dicarikan solusinya.
“Pemerintah harus segera memberikan stimulus seperti memberikan bantuan sosial (bansos), misalnya berupa bantuan langsung tunai dan menunda kebijakan-kebijakan yang memberatkan masyarakat. Pemerintah sebaiknya juga menunda kenaikan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN. Pemerintah dapat mencari alternatif sumber pendapatan lain untuk menambah penerimaan negara,” kata Koni.
Namun, Pemerintah malah mengumumkan tetap akan menaikkan PPN 11% menjadi 12% pada 2025 mendatang. Kenaikan PPN menjadi 12 persen ini terhitung diberlakukan mulai 1 Januari 2025. Alasannya, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Pengumuman kenaikan PPN menjadi 12% disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bersama Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, juga dihadiri beberapa menteri Kabinet Merah Putih lainnya dalam Konferensi Pers Paket Stimulus Ekonomi di Gedung Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin (16/12/2024).
Untuk kita ketahui bersama bahwa sistem perpajakan di Indonesia, termasuk PPN menganut single tarif terhadap barang dan jasa kena pajak.
“Kita enggak menganut multi tarif, Indonesia undang-undangnya, tarif PPN nya, tidak multi tarif,” terang Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Nathan Kacaribu, Kamis (19/12/2024).
Saat mengumumkan kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% tersebut, Pemerintah masih menetapkan barang-barang yang sama, yang dikecualikan dari pengenaan PPN, yakni bahan pangan untuk sembako, jasa pendidikan dan kesehatan, hingga transportasi.
Selain itu, hanya tiga komoditas seperti minyak goreng curah bermerek Minyakita, tepung terigu, dan gula industri yang akan diberikan tarif PPN DTP artinya Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 1%, sehingga tarifnya masih akan tetap 11% sepanjang 2025.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono menegaskan, kebijakan PPN yang dianut pemerintah berlaku umum. Artinya, setiap barang dan jasa yang menjadi objek pajak akan terkena PPN 12%, Kecuali, barang dan jasa itu dikecualikan atau dilakukan DTP oleh pemerintah.
PHK Di Mana-mana
Ketua Tax Payer Community Abdul Koni mengingatkan sekali lagi kepada Pemerintah agar menunda kenaikan PPN 12% hingga daya beli masyarakat benar-benar pulih. “Saat ini, daya beli masyarakat merosot. Ramai PHK, cari kerja susah. Ini menjadi warning bagi pemerintah,” kata Koni, Kamis (19/12/2024).
Kementerian Ketenakerjaan (Kemnaker) melalui Satu Data Ketenagakerjaan menyatakan, sebanyak 63.947 tenaga kerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sejak bulan Januari hingga Oktober 2024. “Pada periode Januari-Oktober 2024 terdapat 63.947 orang tenaga kerja yang ter-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja),” kutipan dari laman resmi, Senin (18/11/2024).
Penutupan pabrik hingga pemutusan hubungan kerja atau PHK massal industri tekstil tak kunjung usai jelang akhir 2024. Terbaru, perusahaan raksasa PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) diputus pailit lantaran gagal memenuhi kewajiban pembayaran kepada kreditur. Kepailitan Sritex tercatat lewat putusan PN Semarang atas perkara nomor 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg. Pembacaan putusan kepailitan Sritex dan perusahaan lainnya itu dilakukan pada Senin (21/10/2024) di PN niaga Semarang. Jauh sebelum kabar pailit Sritex, tak hanya 1 atau 2 pabrikan tekstil nasional yang tak mampu bertahan hingga memutuskan untuk menutup pabrik dan memicu gelombang PHK massal pekerja tekstil.
Laporan dari Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) setidaknya tercatat sebanyak 15.500 buruh tekstil yang di PHK sejak awal tahun. Gelombang PHK massal diproyeksi masih akan kembali terjadi di sisa 2024.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja mengatakan, ramai PHK jelas-jelas terjadi. “Sampai Mei 2024, total PHK yang terjadi di industri kurang lebih 10.800 tenaga kerja yang terkena PHK. Hingga kuartal I-2024 terjadi kenaikan jumlah PHK sebesar 3.600 tenaga kerja atau naik sebesar 66,67%, itu secara year on year/yoy ya,” katanya, dikutip Jumat (14/6/2024).
Dari kenyataan banyaknya PHK di mana-mana itu, Tax Payer Community meminta kebijakan pemerintah harus fokus kepada masyarakat. Ketua Tax Payer Community Abdul Koni, mengapresiasi Pemerintah yang memberikan sejumlah insentif pajak, seperti memperpanjang masa berlaku PPh Final 0,5% bagi UMKM dan menanggung PPh Pasal 21 bagi para pekerja di sektor padat karya pada 2025.
Namun, menurut Koni, Pemerintah perlu momentum yang lebih tepat. Paling tidak sampai tahun 2026. Agar para penerima insentif pajak dapat menikmatinya lebih dulu. Terutama untuk meningkatkan daya beli masyarakat, kemudian terjadinya stabilitas politik dan perbaikan perekonomian nasional.
“Kenaikan PPN dapat berdampak besar pada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang cenderung lebih sensitif terhadap perubahan harga,” kata Koni.
Selain itu, kenaikan ini dapat memicu inflasi, terutama pada sektor barang kebutuhan sehari-hari.
“Sebab, secara beriringan pemberian insentif pajak tersebut tidak akan mampu menahan kenaikan harga barang dan jasa karena sistem pengenaan PPN di Indonesia yang single tarif (kenaikan PPN 12%). Akibatnya akan terjadi penurunan konsumsi yang massif karena daya beli masyarakat melemah yang berimbas kontra produktif pada perekonomian nasional,” kata Koni.
Penolakan PPN 12%
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mendapat penolakan masyarakat. Kebijakan yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025 ini memicu dampak ikut naiknya harga barang dan jasa di tengah menurunnya daya beli masyarakat. Sebagai respons, warga masyarakat membuat petisi penolakan kenaikan PPN yang kemudian viral menyebarluas di media sosial.
Hingga saat ini, petisi tersebut telah ditandatangani lebih dari 124.202 warga yang berharap pemerintah membatalkan kebijakan ini. Seruan ini menggambarkan keresahan publik terhadap tekanan ekonomi yang semakin besar di tengah pemulihan ekonomi pasca-pandemi.
“Pemerintah segera batalkan kenaikan PPN,” tulis keterangan di petisi yang viral di akun X @barengwarga, dikutip Kamis (19/12/2024).
Kenaikan PPN menjadi 12% diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) Nomor 7 Tahun 2021. Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak demi memperkuat pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Namun, kenaikan PPN dinilai kurang tepat waktu, mengingat daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi. Sebelumnya, kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% pada tahun 2022 telah memengaruhi pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang turun dari 5% menjadi 4,8% pada tahun berikutnya.
Petisi menolak PPN 12% diluncurkan di platform Change.org dan telah mendapatkan lebih dari 124.202 tanda tangan. Dukungan terhadap petisi ini mencerminkan keresahan masyarakat terhadap kebijakan yang dinilai dapat memperparah kondisi ekonomi mereka.
Ajakan untuk menandatangani petisi juga menyebar luas di media sosial dengan tagar seperti #TolakPPN12 dan #PajakMencekik. Publik menyerukan agar pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan ini dan mendengarkan aspirasi masyarakat yang khawatir akan lonjakan kenaikan harga kebutuhan pokok.
Kenaikan PPN berdampak pada daya beli masyarakat yang semakin melemah. Dengan harga barang-barang dan jasa yang ikut naik, banyak pihak khawatir konsumsi rumah tangga akan terus melambat. Padahal, konsumsi rumah tangga merupakan motor penggerak utama perekonomian nasional.
Mantap (Makan Tabungan), Krisis Ekonomi
Daya beli masyarakat Indonesia semakin merosot akibat kenaikan harga kebutuhan pokok seperti beras, telur, minyak goreng dan lainnya hingga menjelang tutup tahun 2024 ini.
Kantong warga tambah menipis dan kering. Kebanyakan masyarakat sudah mantap (makan tabungan). Untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya,
Menurut Pengamat Ekonomi dari Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan, fundamental ekonomi Indonesia semakin memburuk. Kondisi moneter dan fiskal semakin babak belur.
Kenaikan kurs dolar akan berdampak buruk bagi fiskal dan daya beli masyarakat. Beban bunga utang pemerintah akan melonjak. Subsidi yang berhubungan dengan mata uang dolar, seperti BBM, elpiji, listrik, pupuk, juga akan membengkak. Harga bahan pokok asal impor juga akan naik, seperti tahu, tempe, daging.
Kepada PajakOnline, Anthony Budiawan mengungkapkan, seiring dengan terpuruknya moneter, kondisi fiskal (APBN) juga sangat memprihatinkan. Penerimaan perpajakan (yaitu pajak, bea dan cukai) turun 8 persen selama Januari-April 2024 dibandingkan periode sama 2023. Padahal, menurut APBN 2024, penerimaan perpajakan dianggarkan naik 7,2 persen. Artinya, penerimaan negara dari perpajakan bisa shortfall 15 sampai 20 persen.
Penerimaan perpajakan selama 4 bulan pertama 2024 hanya Rp719,90 triliun, atau turun Rp62,76 triliun dibandingkan 2023 yang mencapai Rp782,66 triliun.
Diperkirakan, tren penurunan penerimaan perpajakan akan berlanjut, sehingga bisa memicu krisis fiskal. Rasio pajak akan turun, diperkirakan hanya maksimal 9,5 persen dari PDB. Lebih rendah dari rasio pajak sebelum pandemi, 2019, yang mencapai 9,8 persen.
“Yang memprihatinkan, kondisi moneter dan fiskal yang sangat lemah ini di luar kendali pemerintah. Kurs rupiah di luar kendali pemerintah, tapi tergantung dari investor asing. Harga komoditas di luar kendali pemerintah, tapi tergantung dari kebijakan moneter bank sentral global khususnya the Fed. Kalau tren seperti ini berlanjut, maka krisis ekonomi tinggal tunggu waktu,” kata Anthony.
*****