PajakOnline.com—Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menetapkan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen dalam setiap transaksi digital perusahaan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) perusahaan luar negeri.
Baca Juga: Potensi Penerimaan Pajak Digital Indonesia Capai Triliunan Rupiah
Ini merupakan salah satu perluasan basis potensi pajak di Indonesia.
“Walaupun baru PPN, belum PPh (Pajak Penghasilan) dari perusahaan digital asal luar negeri yang telah mengambil keuntungan signifikan (significant economic presence) dari Indonesia, namun langkah pemerintah ini strategis dalam memperluas potensi pajak dan menambah penerimaan negara,” kata Managing Director PajakOnline Consulting Group Abdul Koni.
Menurut Koni, pengenaan PPN dapat dilakukan Pemerintah saat ini dalam setiap transaksi melalui platform digital. Namun, sebenarnya yang menanggung PPN ini adalah konsumen penggunanya, bukan perusahaannya.
“Yang harus terus dikejar Pemerintah adalah pajak penghasilan (PPh) perusahaan-perusahaan digital luar negeri, seperti Netflix, Facebook, Zoom, Twitter, Shopee, dan lainnya.
Potensi penerimaan negara sangat besar dari pajak digital, yakni pajak penghasilan perusahaan platform digital tersebut. Sesuai asas fairness, karena mereka telah turut mengambil keuntungan besar di Indonesia. Apalagi ke depan, penggunaan platform digital akan menjadi kebiasaan dan gaya hidup,” kata Koni.
Oleh karena itu, hal ini menjadi landasan bagi Pemerintah untuk melakukan pemajakan produk digital. Perusahaan penyedia penyelenggara platform produk digital terutama dari luar negeri tersebut telah mengambil manfaat ekonomi yang siginifikan dari Indonesia.
OECD Sepakat, AS Menolak
Dalam pemberitaan media ini sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, pembahasan mengenai pajak penghasilan perusahaan-perusahaan dengan platform digital di tataran internasional masih belum mencapai kata sepakat. Bahkan, ditolak Amerika Serikat (AS) yang memiliki kepentingan melindungi sejumlah perusahaan asal negerinya tersebut.
Menkeu Sri melanjutkan, dengan penolakan AS itu, perlu langkah-langkah lebih konkret Pajak Penghasilan Digital dapat diterapkan. Sebab, saat ini, banyak negara berharap adanya basis perpajakan baru dari sisi digital.
Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) saat ini sudah menyampaikan pendekatan dalam menyepakati kebijakan perpajakan digital ini.
Pilarnya adalah Unified Approach yang berfokus kepada pembagian hak pemajakan dari korporasi yang beroperasi secara digital, secara borderless atau tanpa batas wilayah. Pada pilar ini, diatur bagaimana cara membagi penerimaan pajak, terutama untuk Pajak Penghasilan antar negara berdasarkan operasi perusahaan digital di berbagai wilayah.