PajakOnline.com—Jaminan Hari Tua (JHT) adalah manfaat atas uang tunai yang dibayarkan secara sekaligus saat peserta JHT memasuki masa pensiun, meninggal dunia, ataupun ketika peserta mengalami cacat total tetap. Ketentuan yang menjadi dasar hukum terkait JHT tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2015 yang mana terbaru diubah dalam PP Nomor 60 Tahun 2015 serta Permenaker Nomor 2 Tahun 2022. Kemudian atas kewajiban perpajakan dari JHT yaitu PMK Nomor 16 Tahun 2010.
Setiap orang termasuk orang asing yang bekerja pada perusahaan di Indonesia paling singkat 6 bulan yang telah membayar iuran. JHT ini berbeda dengan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm), dimana JKK dan JKm dibayar oleh perusahaan dianggap sebagai penambah penghasilan bruto sebulan, JHT justru sebaliknya yang merupakan pengurang dari penghasilan bruto sebulan.
Sementara itu, dalam PMK 16/2010, JHT disebut sebagai penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh BPJS Ketenagakerjaan kepada orang pribadi yang memiliki hak dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Adapun, BPJS ketenagakerjaan merupakan suatu badan hukum publik yang pembentukannya berdasarkan pada UU No. 24 Tahun 2011.
Manfaat dari JHT ini akan diberikan kepada peserta pada ketika peserta mencapai usia pensiun, saat mengalami cacat total tetap, ataupun ketika meninggal dunia. Untuk usia pensiun berdasarkan pada Permenaker 2/2022 yaitu ketika peserta berusia 56 tahun.
Untuk manfaat JHT bagi yang mengalami cacat total akan diberikan kepada yang bersangkutan sebelum mencapai usia pensiun, yang mana mekanisme atas penetapan cacat total tetap ini dilakukan dengan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Kemudian, untuk manfaat JHT bagi yang meninggal dunia akan diberikan kepada ahli warisnya. Ahli waris yang dimaksud disini meliputi duda, janda, maupun anak dari peserta.
Namun, jika tidak terdapat duda, janda, maupun anak peserta, maka manfaat JHT akan diberikan sesuai dengan urutan yaitu keturunan sedarah dari peserta berdasarkan pada garis lurus ke atas serta kebawah hingga derajat kedua, saudara kandung, mertua, serta pihak lain yang ditunjuk dalam wasiatnya.
Secara umum, ketentuan PPh atas JHT yang diterima terbagi menjadi 2;
1. Pajak atas JHT yang Dibayarkan Sekaligus, Pada PMK 16/2010, penghasilan yang berupa uang JHT dianggap akan dibayarkan sekaligus jika sebagian ataupun seluruh pembayaran dilakukan dalam kurun waktu paling lama yaitu selama 2 tahun kalender. JHT yang dibayarkan sekaligus ini terutang PPh 21 yang sifatnya final. Adapun, tarif PPh 21 yang dikenakan yaitu sebesar 0% terhadap penghasilan bruto hingga Rp50.000.000, dan akan dikenakan tarif sebesar 5% untuk yang mendapatkan penghasilan bruto di atas Rp50.000.000.
2. Pajak atas JHT yang Dibayarkan Bertahap, Pada PMK 16/2010, pembayaran bertahap dalam JHT merupakan bagian dari penghasilan JHT yang terutang atau yang dibayarkan pada tahun ketiga serta tahun-tahun berikutnya. Adapun, atas JHT yang dibayarkan pada tahun ketiga dan tahun seterusnya (secara bertahap) akan dikenakan dan terutang PPh 21 yang sifatnya tidak final, tarifnya menggunakan tarif progresif pada Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dimana pembaharuannya telah diatur dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).(Kelly Pabelasary)