PajakOnline.com—Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan, Indonesia diperkirakan baru akan mengimplementasikan pajak karbon pada tahun 2026 mendatang. Airlangga menyebutkan rencana ini masih dalam proses, dan pemerintah masih perlu melengkapi regulasi, termasuk skema perhitungannya.
“Nanti kita akan lihat regulasinya akan dilengkapi karena salah satunya Eropa akan menerapkan CBAM (Carbon Border Adjustment Mechanism) di tahun 2026, 2024 mereka akan sosialisasi,” kata Airlangga dalam jumpa pers dikutip Kamis (25/1/2024).
Airlangga mengatakan, meski pajak ini belum diterapkan, pelaku industri diharapkan bersiap-siap dengan beralih menggunakan energi hijau. Dia mengakui peralihan tersebut membutuhkan investasi tambahan.
Sementara itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyatakan, pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai faktor sebelum menerapkan pajak karbon, dengan salah satu faktor utama adalah pemulihan ekonomi Indonesia.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menjelaskan komitmen pemerintah dalam menghadapi krisis iklim tak perlu dipertanyakan. Menurut dia, saat menerapkan pajak ini kementeriannya akan berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga lainnya termasuk Otoritas Jasa Keuangan. Tujuannya supaya mekanisme itu tidak hanya memperkuat penerimaan melainkan juga menekan emisi karbon.
“Seperti yang saya sampaikan sebelumnya ini tidak hanya sekedar menjadi sesuatu instrumen yang untuk penerimaan, tapi lebih untuk program climate change,” katanya.
Menurut Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira, pemerintah dianggap tidak serius dalam menerapkan pajak karbon. Ia menyatakan pandangannya dengan menunjukkan bahwa penundaan dua kali penerapan pajak ini mencerminkan ketidakseriusan tersebut.
“Pemerintah seringkali menggunakan kenaikan biaya listrik sebagai tameng ditundanya pajak karbon. Ini saya rasa cukup aneh ya, padahal pajak karbon dibutuhkan untuk mempercepat penutupan PLTU batubara,” jelas dia.
Dia menilai ditundanya penerapan pajak karbon ini menyebabkan bursa karbon yang sudah diluncurkan pemerintah menjadi sepi peminat.
“Banyak yang tidak tertarik terlibat di perdagangan karbon karena belum ada disinsentif bagi perusahaan domestik untuk kurangi emisi karbonnya. Kan kalau tidak ada pajak karbon sebagai hukuman, buat apa ikut perdagangan karbon? Ini logika pasar paling sederhana,” kata dia. (Wiasti Meurani)