PajakOnline.com—Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati optimistis di tengah gejolak ekonomi global, pertumbuhan penerimaan perpajakan tahun 2023 diproyeksi mencapai 4,8 persen dibandingkan outlook tahun 2022 sebesar Rp1.924,9 triliun, sehingga penerimaan perpajakan tahun depan ditetapkan menjadi Rp2.016,9 triliun.
Peningkatan tersebut menunjukkan tren penerimaan perpajakan 2023 telah kembali pada level pra pandemi seiring pemulihan ekonomi; tingginya harga komoditas; serta reformasi perpajakan yang akan mendorong peningkatan penerimaan, salah satunya dengan diimplementasikannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Pertumbuhan target penerimaan perpajakan tahun depan relatif konservatif sebab pertumbuhan ekonomi di tahun 2021 dan 2022 menghadapi ancaman terjadinya resesi global, inflasi yang tinggi hingga kenaikan suku bunga acuan di berbagai negara.
“Pertumbuhan penerimaan perpajakan dari tahun ke tahun juga menunjukkan ada dinamika, terutama disebabkan oleh commodity boom, pemulihan ekonomi, globalisasi, termasuk kondisi pandemi. Kita melihat ke depan dengan situasi global yang kami sampaikan, maka proyeksi 2023 kita harus sangat hati-hati supaya kita bisa menjaga berbagai kemungkinan situasi yang tidak menentu,” kata Sri Mulyani dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR, belum lama ini.
Menurut Menkeu, target perpajakan di tahun 2023 sebesar Rp2.016,9 triliun merupakan yang pertama kalinya di atas Rp 2.000 triliun. Dengan rincian penerimaan pajak Rp1.715,1 triliun dan penerimaan bea dan cukai mencapai Rp301,8 triliun.
Peningkatan tren penerimaan pajak dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2023 akan disokong oleh dampak positif harga komoditas dan implementasi Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang telah berakhir sejak 30 Juni lalu, sebagai salah satu implementasi dari UU HPP.
Sri Mulyani mengungkapkan, ancaman kenaikan risiko inflasi global yang menyebabkan likuiditas mengetat akan meningkatkan beban biaya (Cost of Fund/CoF) Surat Utang Negara (SUN). Dengan demikian, pengendalian defisit dan utang negara menjadi penting agar risiko itu dapat lebih dijaga, baik terhadap APBN dan perekonomian domestik.
Selain itu, dampak kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) juga menjadi perhatian utama pemerintah untuk menjaga daya beli dan inflasi nasional. Di tahun 2022, pemerintah menyiapkan bansos tambahan sebesar Rp24,17 triliun untuk mengalihkan subsidi BBM agar tepat sasaran.
Kebijakan ini diharapkan dapat menjaga daya beli masyarakat yang terdampak lonjakan harga yang terjadi secara global. Sementara, anggaran subsidi energi di tahun 2023 masih dalam pembahasan dengan DPR. Namun, pemerintah telah menyediakan anggaran subsidi minyak lebih dari Rp340 triliun di tahun depan, dengan asumsi minyak di kisaran 90 dollar AS per barel.
“Situasi pada tahun depan masih akan sangat menantang bagi keuangan negara atau APBN dan perekonomian domestik karena ancaman tidak hanya berasal dari sisi perekonomian, tetapi juga dari sisi keamanan dan politik global. Semuanya mengalami tekanan cost yang sangat melonjak, karena bahan dasarnya melonjak tinggi akibat krisis energi. Ini yang di-absorb pemerintah dalam bentuk kenaikan subsidi kompensasi dan diberikan dalam bentuk bansos (bantuan sosial) ke kelompok rentan,” kata Menkeu Sri Mulyani.
Selain itu, segala upaya yang dilakukan pada tahun 2022 dan rencana di 2023 juga merupakan upaya pemerintah untuk menerapkan disiplin fiskal dengan maksimum defisit 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada APBN 2023.