PajakOnline.com—Sebanyak 132 negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) akhirnya menyetujui konsensus global atas data base erosion and profits sharing (BEPS) untuk pajak digital.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, ada dua pilar yang disetujui oleh 132 negara yang juga anggota Inclusive Framework BEPS. Hal tersebut mengemuka dalam pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral di Venice, Italia, 9-10 Juli 2021 lalu.
Pilar pertama, setiap negara sekarang memiliki hak yang lebih pasti tanpa mempedulikan kehadiran fisik sehingga perusahaannya tidak perlu ada di negara bersangkutan, tetapi pelayanannya hadir di sana.
“Ini salah satu tantangan kita karena banyak perusahaan digital (secara fisik/BUT) tidak berada di Indonesia tetapi mereka beroperasi (mencari keuntungan) di Indonesia,” ungkap Menkeu Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita, Rabu (22/7/2021).
Perusahaan platform digital, di antaranya seperti Google dan Facebook, tidak memiliki BUT (Bentuk Usaha Tetap), yang menjadi ciri kehadiran fisik perusahaan. Pajak ini akan menyasar terutama untuk perusahaan multinasional yang omzet di atas 20 miliar euro yang sekarang diturunkan threshold-nya menjadi 10 miliar euro untuk 7 tahun setelah kehadiran dengan profitabilitas di atas 10%.
“Ini masih akan menjadi berbagai isu teknis yang tetap dinegosiasikan di dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya,” kata Menkeu Sri Mulyani.
Menurutnya, Indonesia harus melihat ini secara detail karena kita memiliki kepentingan basis pajak. Persetujuan multilateral yang akan dibuka pada tahun 2022 dan mulai berlangsung efektif kebijakannya di tahun 2023.
Pilar kedua, memastikan bahwa perusahaan multi nasional (PMN) yang beroperasi secara internasional membayar pajak dengan tarif minimum. Banyak perusahaan yang menghindari pajak tinggi dengan mencari negara atau yuridiksi dengan tarif rendah.
“Sekarang akan dilakukan yang disebut minimum tarif bagi perpajakan. Sehingga, mereka tidak bisa menghindar pergi ke daerah dengan tingkat pajak yang sangat rendah,” kata Menkeu Sri Mulyani.
Adapun, threshold yang ditetapkan yaitu 750 juta euro untuk perusahaan PMN atau multinasional corporation dan entitas pemerintah dikecualikan.
Menkeu menyebutkan, pilar kedua ini akan mengurangi kompetisi global antar negara yang menawarkan pajak sangat rendah. “Sehingga saat ini kita pasti bisa mendapatkan kepastian di manapun mereka berada harus minimal membayar pajak 15 persen,” tegas Menkeu Sri Mulyani.
G20 dan negara-negara dalam framework BEPS ini juga akan masih membahas level pajak minimum 15 persen dan adanya cerve-out 5 persen. “Artinya negara-negara masih bisa memberikan insentif 5 persen di atas atau di bawah 15 persen ini. Ini untuk negara-negara yang masih mau memberikan insentif perpajakan tapi yang jelas tidak mungkin memberikan fasilitas perpajakan 0%,” kata Menkeu.
Detail dan ketentuan teknis akan dibahas dalam Inclusive Framework/G20 BEPS hingga bulan Oktober 2021. Saat ini, Kemenkeu, BKF serta Direktorat Jenderal Pajak tengah meneliti dinamika ini untuk mengantisipasi dalam aturan UU yang berlaku di Tanah Air.
Framework ini akan berlaku 2023 sehingga hal ini terus dibahas dengan DPR RI. “Supaya Indonesia tidak kalah, dalam hal ini tidak siap dalam menghadapi perubahan-perubahan yang sangat dinamis,” ujarnya. Dalam paparan Kemenkeu mengusulkan sejumlah perbaikan RUU KUP antara lain, ketentuan asistensi penagihan global dan penyempurnaan instrumen pencegahan penghindaran pajak.