PajakOnline.com—APBN tahun 2022 akan menjadi instrumen untuk menjaga pemulihan ekonomi Indonesia sekaligus mendukung keberlanjutan program penanganan Covid-19. APBN bekerja sangat sangat keras sebagai instrumen yang mengangkat perekonomian dari siklus penurunan akibat pandemi Covid-19.
“RAPBN 2020 konstruksinya tetap yaitu APBN menjadi instrumen untuk menjaga pemulihan ekonomi dan membantu serta mendorong reformasi struktural, karena itu adalah dua hal yang sangat penting bagi Indonesia,” kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam Rapat Kerja bersama Badan Anggaran DPR RI, Rabu (25/8/2021).
Pemerintah kembali mendesain APBN Tahun 2022 untuk menyangga pemulihan yang diperkirakan masih akan berlanjut. Sektor perbankan, ujar Menkeu, saat ini masih belum mulai menyalurkan kreditnya seperti sebelum terjadinya pandemi Covid-19 sehingga sulit untuk mengandalkan pertumbuhan ekonomi hanya dari konsumsi atau berasal dari APBN.
Menkeu menjelaskan, pendapatan negara tahun 2021 sudah mulai tumbuh positif. Momentum ini akan terus dijaga pada tahun depan, terutama dari penerimaan perpajakan.
“Jadi penerimaan pajak harus mulai tumbuh. Kalau pertumbuhan penerimaan pajak di bawah pertumbuhan ekonomi, maka kita tidak akan mendapatkan tax ratio yang makin membaik. Tanpa tax ratio yang makin baik akan muskil bagi Indonesia untuk bisa memenuhi kebutuhan belanja, terutama untuk mendukung reformasi struktural,” kata Menkeu Sri Mulyani.
Penerimaan perpajakan diproyeksikan Rp1.506,9 triliun pada tahun 2020 sejalan dengan prospek pemulihan yang disertai kebijakan optimalisasi. Sedangkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp333,2 triliun dipengaruhi penerimaan insidentil non-layanan yang tidak berutang, serta mengoptimalkan government share dari migas.
Di sisi lain, belanja negara akan tetap dikendalikan di Rp2.708,7 triliun, diarahkan untuk mendukung sinergi penanganan kesehatan, perlindungan masyarakat, dan pemulihan ekonomi.
“Jadi pertumbuhan belanja memang tidak di-push karena lonjakan belanja secara absolut itu sudah terjadi di 2020 dan 2021, sedangkan 2022 akan terjadi leveling. Ini adalah bagian dari strategi konsolidasi fiskal. Pendapatan negara harus tumbuh lebih tinggi, pendapatan negara dijaga,” kata Menkeu Sri Mulyani.
Menkeu memaparkan, pemerintah akan mengubah strategi belanja apabila kasus Covid-nya terkendali, dari yang semula untuk penanganan Covid-19, seperti vaksinasi, APD, dan obat-obatan vaksin, diubah menjadi belanja yang produktif.
“Selama kita bisa disiplin dan kemudian menciptakan kasus Covid yang bisa terkendali rendah, maka kita akan punya fiscal space untuk kegiatan prioritas lainnya,” ujar Menkeu.
Sementara, defisit tahun 2022 berada di 4,85 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sebesar Rp868 triliun. APBN 2022 menjadi APBN terakhir dengan defisit yang diperbolehkan melebihi 3 persen sehingga penyusunan RAPBN 2022 diarahkan untuk menjaga keseimbangan kemampuan countercyclical dengan upaya pengendalian risiko agar APBN tetap sehat dan terjaga.
“Konsolidasi fiskal adalah dari pendapatan yang tumbuh positif, belanja yang dikendalikan, maka defisitnya menjadi lebih rendah. Dan ini dilakukan secara berhati-hati karena kita tidak ingin menciptakan disruption dari sisi momentum pemulihan ekonomi,” kata Menkeu.
Defisit tahun 2022 akan dipenuhi dari pembiayaan anggaran, yang salah satunya melalui Surat Keputusan Bersama (SKB III) antara Bank Indonesia dengan pemerintah dalam menangani dampak pandemi.
“Bank Indonesia akan ikut membantu di dalam pembiayaan khusus untuk tahun depan sebesar Rp240 triliun,” kata Menkeu Sri Mulyani.