PajakOnline | Jaksa Agung mengungkap fakta baru skandal korupsi BBM Oplosan Pertamina, Rp193,7 triliun per tahun, artinya dalam 5 tahun periode 2018-2023 mencapai Rp968,5 Triliun.
“Rp190 triliun itu satu tahun,itu saja. Jadi nanti pelaksanaannya ini 5 tahun. Dari tahun 2018 sampai 2023. 5 tahun. Silakan aja hitung berapa,” kata Jaksa Agung ST Burhanuddin kepada wartawan, Rabu (26/2/2025). Namun demikian, angka ini masih bersifat sementara dan bisa bertambah karena investigasi masih berlangsung.
Faktanya, ternyata kerugian negara akibat skandal kasus korupsi BBM Oplosan Pertamina ini hampir mencapai Rp1.000 triliun.
Penyidik Jampidsus juga menemukan bukan cuma Pertalite, Premium juga dioplos jadi Pertamax. Dalam konferensi pers terbaru Rabu (26/2/2025) malam, Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar menegaskan, bahwa blending yang terjadi adalah sesederhana mencampur bensin RON rendah dengan RON tinggi.
“Hasil penyidikan,fakta yang ada dari transaksi RON 88 (dikenal sebagai Premium) di-blending dengan RON 92 (Pertamax) dan dipasarkan seharga RON 92 (Pertamax). Apakah itu nanti (hasilnya) RON 92 atau tidak? Ini ahli akan meneliti. Tapi fakta-fakta yang ada seperti itu, transaksi menyatakan seperti itu,” kata Abdul Qohar.
Jadi bukan hanya negara yang dirugikan dalam kasus korupsi jumbo ini, namun masyarakat konsumen pengguna Pertamax periode 2018-2023 juga dirugikan.
Skandal korupsi dalam tata kelola minyak mentah produk kilang ini dilakukan oknum petinggi di anak perusahaan PT Pertamina (Persero), yaitu PT Pertamina Patra Niaga (PPN) yang bertanggung jawab terhadap pendistribusian BBM ke seluruh Indonesia.
Selain itu, juga oknum petinggi PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Bukan itu saja, oknum petinggi PT Kilang Pertamina Internasional dan broker juga terlibat.
Ketujuhnya telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejagung RI, yaitu:
1. Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan (RS);
2. Direktur Feed stock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Sani Dinar Saifuddin (SDS);
3. Direktur Utama PT Pertamina International Shiping, Yoki Firnandi (YF);
4. Vice Presiden Feed stock Management PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), Agus Purwono (AP).
5. Muhammad Keery Andrianto Riza, penerima manfaat dari PT Navigator Khatulistiwa.
6. Dimas Werhaspati, Komisaris PT Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim.
7. Gading Ramadan Joede, Komisaris PT Jenggala Maritim dan PT Orbit Terminal Merak.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kaspuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung) Harli Siregar merinci kerugian negara sebesar Rp193,7 triliun hanya dari hitungan tahun 2023 saja.
Ditarik mundur ke belakang, menurut Harli jumlah kerugian negara fantastis.
Menurut Harli, tempus delicti atau rentang waktu terjadinya tindak pidana korupsi itu antara 2018-2023.
Dia menjelaskan hitungan kerugian negara tersebut meliputi beberapa komponen seperti rugi impor minyak, rugi impor BBM lewat broker, dan rugi akibat pemberian subsidi.
“Jadi kalau apa yang kita hitung dan kita sampaikan kemarin (Senin) itu sebesar Rp193,7 triliun, perhitungan sementara ya, tapi itu juga sudah komunikasi dengan ahli, terhadap lima komponen itu baru di tahun 2023,” katanya dikutip dari program Sapa Indonesia Malam di YouTube Kompas TV, Rabu (26/2/2025).
Harli mengungkapkan, jika dihitung secara kasar dengan perkiraan bahwa kerugian negara setiap tahun sebesar Rp193,7 triliun, maka total kerugian selama 2018-2023 mencapai Rp968,5 triliun.
“Jadi, coba dibayangkan, ini kan tempus-nya 2018-2023. Kalau sekiranya dirata-rata di angka itu (Rp193,7 triliun) setiap tahun, bisa kita bayangkan kerugian negara sebesar itu,” katanya.
Harli menyebut pihaknya saat ini juga tengah fokus menghitung kerugian negara dari tahun 2018-2023 terkait kasus korupsi jumbo ini. Hasil perhitungan tersebut akan menjadi dasar untuk menuntut para tersangka dan memulihkan kerugian negara.
Semua itu berawal dari laporan atau keluhan warga.
Harli mengungkapkan skandal korupsi BBM oplosan Pertamina ini berawal dari adanya temuan terkait keluhan masyarakat di beberapa daerah soal kualitas bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax yang dianggap jelek, dan bahkan sampai merusak mesin membuat kendaraan mereka masuk bengkel.
“Ini kan pernah mendapatkan respons luas dari masyarakat bahwa mengapa kandungan terhadap Pertamax misalnya yang dinilai kok begitu jelek,” kata Harli, dikutip dari program Sapa Indonesia Malam di YouTube Kompas TV, Rabu (26/2/2025).
Dengan adanya temuan tersebut, Harli mengatakan pihaknya langsung melakukan pengamatan lanjutan hingga pengumpulan data.
Ternyata, kata Harli, keluhan dari masyarakat itu berbanding lurus dengan temuan terkait adanya kenaikan Pertamax hingga subsidi pemerintah yang besar dan dirasa tidak perlu diberikan.
“Sampai pada akhirnya ada keterkaitan dengan hasil-hasil yang ditemukan di lapangan dengan kajian-kajian yang tadi terkait misalnya kenapa harga BBM harus naik misalnya. Ternyata kan ada beban-beban pemerintah yang harusnya tidak perlu,” tuturnya.
Harli menyebutkan temuan-temuan tersebut pun bermuara ke dugaan korupsi tata kelola minyak mentah di Pertamina Patra Niaga.”Karena ada sindikasi yang dilakukan oleh para tersangka ini, akhirnya negara harus mengemban beban kompensasi dan subsidi yang begitu besar,” katanya.