PajakOnline.com—Bursa Karbon Indonesia telah diresmikan Presiden Jokowi, di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta. Sedangkan pajak karbon masih menunggu waktu. Menurut Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Ihsan Priyawibawa, hadirnya bursa karbon tersebut tidak serta-merta membuat pemerintah tergesa-gesa mengenakan pajak karbon.
“Apakah bisa bursa karbon tanpa pajak karbon? Bisa saja, meski secara regulasi kami sudah siapkan yang saat ini masih dalam diskusi. Namun, yang perlu dipahami, pajak karbon tidak hanya berkaitan dengan penerimaan, tetapi juga untuk keberlanjutan pertumbuhan ekonomi Indonesia serta komitmen untuk mewujudkan ekonomi hijau,” kata Ihsan dalam Media Gathering Kementerian Keuangan, di Cianjur, Jawa Barat, dikutip hari ini.
Pengenaan pajak karbon telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam aturan ini, pajak karbon akan dikenakan pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dengan tarif Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Sedangkan berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021, bursa karbon merupakan suatu sistem yang mengatur mengenai pencatatan cadangan karbon, perdagangan karbon, dan status kepemilikan unit karbon.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, Pemerintah Indonesia masih terus mematangkan implementasi teknis pemungutan pajak karbon. Airlangga menyebutkan pengenaan pajak karbon bertujuan, antara lain untuk mengantisipasi Mekanisme Penyesuaian Karbon Perbatasan atau Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang akan diterapkan Uni Eropa (EU) mulai tahun 2026.
“Saat ini regulasinya akan dilengkapi, salah satunya karena Eropa akan menerapkan CBAM mulai tahun 2026. Tahun 2024, mereka akan sosialisasi. Artinya, industri kita harus siap untuk menjadi basis energi hijau dan menjadi industri bersih—dan itu perlu ada investasi,” kata Airlangga.
Dia memastikan, pemberlakuan pajak karbon oleh Pemerintah Indonesia dimaksudkan sebagai alternatif kepada dunia usaha dalam upaya mengurangi emisi karbon. Adapun target pengurangan emisi gas rumah kaca Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar 31,89 persen (dengan kemampuan sendiri) atau 43,20 persen (bantuan internasional).
“Pajak karbon itu ada dua, satu yang sifatnya sukarela dan satu lagi adalah kewajiban terkait. Sifatnya sukarela baru diluncurkan Bapak Presiden (Joko Widodo) melalui Bursa Karbon Indonesia, sementara pajak karbon itu hanya melengkapi. Jadi, kalau tidak diperdagangkan di dalam bursa, baru dicarikan melalui pajak karbon,” jelas Airlangga.
Dengan demikian, ia mengimbau agar perusahaan yang menghasilkan emisi karbon untuk turut berkontribusi dalam upaya pengurangan emisi di Indonesia, baik melalui Bursa Karbon Indonesia maupun membayar pajak karbon sesuai regulasi yang berlaku. “Kalau produknya diekspor akan dikenakan pajak karbon di negara lain, sehingga daripada dikenakan di negara lain, mending di dalam negeri,” kata Airlangga.