PajakOnline.com—Daya beli masyarakat Indonesia semakin merosot akibat kenaikan harga kebutuhan pokok seperti beras, telur, minyak goreng dan lainnya. Ditambah lagi, pemutusan hubungan kerja atau PHK yang terjadi di mana-mana. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat pun terus melemah di level atas Rp 16.000.
Kantong warga tambah menipis dan kering. Kebanyakan masyarakat sudah mantap (makan tabungan. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya, masyarakat Indonesia bahkan harus makan tabungannya, tercermin dari data tabungan di Mandiri Spending Index per Mei 2024. Tabungan golongan masyarakat miskin dan kelas menengah terus tertekan saat ini. Adapun indeks tabungan kelas menengah turun dari sekitar 100 menjadi hanya 94 dengan indeks belanja di level 122 dari kisaran 129. Indeks tabungan kelas bawah hanya 41,3 dari kisaran 80, sedangkan indeks belanjanya 114,7 dari kisaran 100.
Kelompok bawah dalam Mandiri Spending Index ialah konsumen dengan rata-rata tabungan di bawah Rp 1 juta, kelompok menengah antara Rp 1 juta sampai dengan Rp 10 Juta, dan kelompok atas tabungannya di atas Rp 10 juta.
Sudah pendapatan yang tak mampu menyaingi tekanan inflasi pangan, masyarakat Indonesia pun dihadapi oleh PHK yang makin menghilangkan pendapatannya.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja mengungkapkan, PHK marak terjadi. “Sampai Mei 2024, total PHK yang terjadi di industri kurang lebih 10.800 tenaga kerja yang terkena PHK. Hingga kuartal I-2024 terjadi kenaikan jumlah PHK sebesar 3.600 tenaga kerja atau naik sebesar 66,67%, itu secara year on year/yoy ya,” katanya, dikutip Jumat (14/6/2024).
Dalam rapat kerja Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati di Gedung DPD, Senayan, Jakarta, Selasa (11/6/2024). Anggota DPD dari daerah pemilihan Jawa Tengah, Casytha Arriwi Kathmandu mengatakan, di Jawa Tengah telah terjadi PHK besar-besaran akibat perusahaan tutup, terutama di industri tekstil.
“Saya ingin beri informasi juga bahwa ada beberapa tekstil tutup di Jawa Tengah di Karanganyar estimasi 1.500 orang sudah kena PHK, di Semarang 8.000 orang di-PHK, terakhir di Pekalongan satu pabrik tekstil sudah 700 di-PHK,” kata Casytha.
Menurut Pengamat Ekonomi dari Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan, fundamental ekonomi Indonesia semakin memburuk. Kondisi moneter dan fiskal semakin babak belur.
Kenaikan kurs dolar akan berdampak buruk bagi fiskal dan daya beli masyarakat. Beban bunga utang pemerintah akan melonjak. Subsidi yang berhubungan dengan mata uang dolar, seperti BBM, elpiji, listrik, pupuk, juga akan membengkak. Harga bahan pokok asal impor juga akan naik, seperti tahu, tempe, daging.
Anthony Budiawan mengungkapkan, seiring dengan terpuruknya moneter, kondisi fiskal (APBN) juga sangat memprihatinkan. Penerimaan perpajakan (yaitu pajak, bea dan cukai) turun 8 persen selama Januari-April 2024 dibandingkan periode sama 2023. Padahal, menurut APBN 2024, penerimaan perpajakan dianggarkan naik 7,2 persen. Artinya, penerimaan negara dari perpajakan bisa shortfall 15 sampai 20 persen.
Penerimaan perpajakan selama 4 bulan pertama 2024 hanya Rp719,90 triliun, atau turun Rp62,76 triliun dibandingkan 2023 yang mencapai Rp782,66 triliun. Diperkirakan, tren penurunan penerimaan perpajakan akan berlanjut, sehingga bisa memicu krisis fiskal. Rasio pajak akan turun, diperkirakan hanya maksimal 9,5 persen dari PDB. Lebih rendah dari rasio pajak sebelum pandemi, 2019, yang mencapai 9,8 persen.
“Yang memprihatinkan, kondisi moneter dan fiskal yang sangat lemah ini di luar kendali pemerintah. Kurs rupiah di luar kendali pemerintah, tapi tergantung dari investor asing. Harga komoditas di luar kendali pemerintah, tapi tergantung dari kebijakan moneter bank sentral global khususnya the Fed. Kalau tren seperti ini berlanjut, maka krisis ekonomi tinggal tunggu waktu,” kata Anthony.