PajakOnline.com—Pemerintah berencana memperluas basis penerimaan pajak dengan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada jasa layanan pendidikan. Kalangan masyarakat menolak rencana pemerintah tersebut.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Abdullah Ubaid mengatakan pemajakan pada jasa layanan pendidikan akan menurunkan tingkat kualitas pendidikan di Indonesia karena semakin mahalnya mendapatkan akses jasa layanan dari lembaga pendidikan.
“Sekolah menjadi barang mewah dan menjauhkan anak-anak dari haknya untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas,” kata Abdullah Ubaid kepada wartawan.
Menurut dia, hingga saat ini masih banyak anak yang tidak bisa sekolah karena biaya tinggi. “Apalagi nanti setelah kena pajak, sekolah menjadi barang dagangan, dan korbannya adalah anak-anak Indonesia,” katanya.
Abdullah Ubaid menyebutkan pendidikan tidak sepatutnya dikomersialisasi. Pemerintah seharusnya memikirkan bagaimana anak bangsa bisa bersekolah dengan mudah dan dijamin negara. “Bersekolah atau mendapatkan layanan pendidikan adalah hak seluruh anak Indonesia,” katanya.
Pemerintah berencana menghapus bebas pajak atau PPN bagi jasa pendidikan. Selama ini pendidikan, termasuk pendidikan sekolah seperti PAUD, SD-SMA, Perguruan Tinggi; dan pendidikan luar sekolah, masih tergolong sebagai jasa yang bebas PPN.
“Jenis jasa yang tidak dikenai PPN yakni jasa tertentu dan kelompok jasa sebagai berikut (Jasa pendidikan) dihapus,” tulis Pasal 4A ayat 3 tercantum dalam draf RUU KUP yang kami kutip.
Sementara itu, Ekonom Senior INDEF (Institute for Development of Economics and Finance) Enny Sri Hartati mengatakan, kondisi saat ini tidak memungkinkan bagi pemerintah memajaki biaya pendidikan. Menurutnya, pendidikan seharusnya menjadi tanggung-jawab pemerintah.
Enny menjelaskan, pendidikan yang dibiayai pemerintah masih belum bisa menghasilkan kualitas yang sesuai harapan masyarakat. Dari anggaran yang ada pemerintah baru bisa memberikan layanan pendidikan di sekolah negeri yang dinilai masih minimal. “Pemerintah hanya mampu menyiapkan pembiayaan dengan minimal. Jadi yang gratis-gratis itu standar minimal,” kata dia.
Akibatnya, banyak orangtua rela mengeluarkan kocek lebih dalam untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah swasta yang dianggap lebih berkualitas. Sebab, kualitas layanan jasa pendidikan yang diberikan pemerintah dinilai masih rendah. Pada akhirnya, komersialisasi pendidikan tidak bisa terhindarkan.
Kemudian, upaya mendapatkan pendidikan berkualitas ini malah kena pajak. Otomatis, biaya yang dikeluarkan orang tua murid akan semakin tinggi. “Ini gimana ceritanya? Kenapa jadi potensi objek yang kena pajak,” kata Enny.
Enny mengingatkan, sektor pendidikan bukanlah objek komersial yang bisa dijadikan objek pajak. Sebaliknya yang perlu dilakukan pemerintah menertibkan lembaga pendidikan yang memasang harga tinggi untuk biaya pendidikan. Tujuannya, agar masyarakat bisa mengakses pendidikan yang dikelola swasta dengan harga yang masih bisa terjangkau semua kalangan masyarakat. Sehingga anak-anak berkesempatan mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
“Harusnya pemerintah ini buat yang pendidikan sangat-sangat komersial ini ditertibkan, bukan malah kena pajak. Supaya masyarakat bisa akses pendidikan yang berkualitas,” katanya.
Penolakan juga datang dari Nahdlatul Ulama (NU), Lembaga Pendidikan M’arif NU PBNU menolak rencana penghapusan bebas pajak bagi lembaga pendidikan. Ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif NU, Arifin Junaidi mendesak pemerintah membatalkan rencana tersebut.
“LP M’arif NU PBNU menolak rencana penghapusan bebas pajak bagi lembaga pendidikan, dan meminta pemerintah membatalkannya,” kata Arifin dalam keterangan tertulis yang kami kutip hari ini.
Menurut Arifin, bertentangan dengan upaya mencerdaskan bangsa yang menuntut peran pemerintah dan keterlibatan masyarakat. Harusnya pemerintah mendukung partisipasi masyarakat dalam lembaga pendidikan.
Pendidikan bukan ladang untuk mencari keuntungan. Lebih penting dari itu, aktivitas LP Ma’arif NU dalam dunia pendidikan demi ikut berperan serta dalam upaya mencerdaskan bangsa sebagai pelaksanaan amanat UUD 1945.
LP Ma’arif NU yang bergiat di bidang pendidikan jauh sebelum kemerdekaan RI, menurutnya saat ini menaungi sekitar 21.000 sekolah dan madrasah di seluruh Indonesia, sebagian besar ada di daerah 3 T. Dalam menetapkan biaya pendidikan yang harus ditanggung murid, jangankan menghitung komponen margin dan pengembalian modal, dapat menggaji tenaga didik kependidikan dengan layak saja merupakan hal yang berat. “Karena hal itu akan sangat memberatkan orang tua murid,” katanya. Apalagi ditambah lagi dengan beban pajak pada lembaga pendidikan.