PajakOnline.com—Film sebagai suatu pranata sosial dan media komunikasi massa membawa pesan yang berisi gagasan vital kepada publik dengan daya pengaruh yang besar sehingga film mempunyai fungsi pendidikan, hiburan, informasi, dan pendorong karya kreatif.
Film juga memiliki dampak pada ekonomi yang mampu memajukan kesejahteraan masyarakat dengan memerhatikan prinsip persaingan usaha yang sehat. Dengan demikian, film menyentuh berbagai segi kehidupan manusia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dilihat berdasarkan jumlah penonton film dalam negeri terlihat bahwa minat masyarakat untuk menonton film dalam negeri meningkat setiap tahunnya. Namun, film impor memperoleh pendapatan yang lebih besar dari peredarannya di Indonesia dibandingkan dengan pendapatan film dalam negeri mengingat jumlah film dalam negeri yang beredar di bioskop tidak sebanyak film impor.
Adapun terdapat peraturan perpajakan yang perlu dipertimbangkan untuk diterbitkan yaitu Peraturan Direktur Jenderal Pajak mengenai DPP Nilai Lain atas penyerahan film dalam negeri dengan perkiraan hasil rata-rata per judul film yang diatur dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 121/PMK.03/2015 tentang DPP Nilai Lain.
Untuk itu, hasil penghitungan perkiraan penghasilan bruto atas penjualan tiket oleh produser film dalam negeri dan importir film bahwa batasan penghasilan bruto sesuai yang diatur dalam PMK Nomor 197/PMK.03/2013 tentang perubahan atas PMK Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai telah dilampaui atau melebihi Rp4.800.000.000,00 dalam satu Tahun Pajak, sehingga wajib dikukukan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Dalam Pasal 4A ayat 3 UU PPN 1984, struktur biaya produser film dalam negeri adalah biaya atas pemanfaatan jasa-jasa untuk memperlancar kegiatan produksi film yang termasuk dalam jasa-jasa yang dikenakan pajak pertambahan nilai. Sedangkan struktur penghasilannya berupa pendapatan yang diperoleh dari bagi hasil dengan pengusaha bioskop atas penjualan tiket di bioskop setelah dikurangi dengan Pajak Hiburan sebagai pajak daerah.
Kemudian, struktur biaya importir film seperti bea masuk, PPh Pasal 21, dan PPh Pasal 26. Sedangkan struktur penghasilannya seperti pendapatan yang diperoleh dari bagi hasil dengan pengusaha bioskop atas penjualan tiket di bioskop setelah dikurangi dengan Pajak Hiburan sebagai pajak daerah.
Selanjutnya, beban pajak pertambahan nilai yang ditanggung oleh produser film dalam negeri yaitu sebesar pajak masukannya yang terutang dari pemanfaatan jasa-jasa yang digunakan dalam proses produksi. Hal ini disebabkan karena pajak masukan tidak bisa dikreditkan dengan PPN yang muncul dari transaksi penyerahan film kepada pengusaha bioskop yang merupakan pajak keluarannya karena masih diterapkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-30/PJ.3/1987.
Untuk beban pajak berupa PPN yang merupakan pajak masukan bagi perusahaan importir film dapat dikreditkan dengan pajak keluarannya, sehingga PPN yang harus dibayar nihil dan bukan lagi merupakan beban pajak bagi importir film. Demikian, besarnya beban pajak yang ditanggung oleh produser film dalam negeri dan importir film tidak dapat diperbandingkan.
Sebab, produser film dalam negeri dikenakan aspek perpajakan sesuai asas domisili dan asas sumber atas kegiatan memproduksi dan mengeksploitasi film dalam negeri di Indonesia, sedangkan importir film hanya dikenakan aspek perpajakan sesuai asas sumber atas kegiatan mengimpor dan mengeksploitasi film impor di Indonesia.(Kelly Pabelasary)