PajakOnline.com—Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut. Kalangan ekonom menilai kondisi ini menandakan daya beli masyarakat merosot semakin melemah.
Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti melaporkan, pada September 2024 terjadi deflasi sebesar 0,12 persen. Secara tahunan, masih terjadi inflasi sebesar 1,84 persen.
“Deflasi pada September 2024 terlihat lebih dalam dibandingkan Agustus 2024, dan ini merupakan deflasi kelima pada tahun 2024 secara bulanan,” kata Amalia dalam konferensi pers di Jakarta, pada awal Oktober 2024.
Amalia menjelaskan, penyebab deflasi bulanan terbesar adalah makanan, minuman dan tembakau dengan kontribusi sebesar 0,59 persen. Komoditas dominan yang memberikan andil deflasi di antaranya adalah cabai merah, cabai rawit, telur ayam ras, dan tomat.
Fenomena deflasi yang terjadi secara beruntun ini, terakhir terjadi pada tahun 1999 setelah krisis finansial Asia, di mana waktu itu Indonesia mengalami deflasi selama tujuh bulan berturut-turut dari Maret-September 1999.
Periode deflasi lain, juga pernah terjadi antara Desember 2008 hingga Januari 2009, yang disebabkan oleh turunnya harga minyak dunia. Pada tahun 2020, juga pernah terjadi deflasi selama tiga bulan berturut-turut.
Berbeda dengan tahun 1999, deflasi kali ini terjadi karena adanya penurunan harga yang dipengaruhi dari sisi penawaran atau supply, utamanya pangan.
Dari sisi tabungan, berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pertumbuhan nilai rekening untuk jumlah tabungan di bawah Rp100 juta hanya tiga persen pada akhir 2023, sehingga jumlah tabungan orang Indonesia sebanyak 99 persen hanya berada di bawah Rp100 juta.
Ekonom INDEF Tauhid Ahmad mengatakan perekonomian Indonesia sedang tidak baik-baik saja. “Saya kira ini memang pelemahan ekonomi, secara struktur. Bukan hanya soal daya beli, tetapi di banyak aspek misalnya struktur ekspor impor, konsumsi pemerintah dan investasi juga trennya menurun. Bukan hanya soal daya beli, karena tendensi putaran misalnya PMI di bawah 50, kemudian penjualan kendaraan roda dua stagnan, itu menunjukkan bahwa kinerja ekonomi yang lain juga terpengaruh. Memang daya beli faktor dominan, tetapi faktor lain juga mengalami tren stagnan, bahkan ada yang lebih rendah,” ungkap Tauhid seperti dilansir VOA.
Dia menjelaskan, permasalahan utama pada saat ini adalah kesulitan masyarakat memenuhi kebutuhan pokok karena dalam kurun waktu satu tahun terakhir harga pangan mengalami kenaikan luar biasa. Fenomena deflasi, tegasnya, terjadi karena masyarakat tidak mampu untuk membeli.
Di sisi lain, katanya, kondisi global juga cukup memengaruhi deflasi beruntun ini. Perusahaan-perusahaan berbasis impor, sudah tidak bisa menyerap tenaga kerja baru karena pasar yang bermasalah.
Seperti situasi di China, lanjutnya yang ekonominya menurun sampai 4 persen sehingga permintaan barang dan jasa dari kita melemah otomatis banyak eksportir kita yang ke China mengalami pelemahan sehingga banyak yang dirumahkan. “Worst case-nya bahkan banyak upah riilnya di bawah UMR sehingga memengaruhi daya beli, belum lagi perusahaan-perusahaan yang melakukan PHK terhadap pekerjanya, otomatis tidak punya income. Jadinya daya beli turun,” katanya.
Sementara itu, Ketua Tax Payer Community Abdul Koni mengatakan daya beli masyarakat yang terus menurun ini perlu untuk diwaspadai dan segera dicarikan solusinya.
“Pemerintah harus segera memberikan stimulus seperti memberikan bantuan sosial (bansos), misalnya berupa bantuan langsung tunai dan menunda kebijakan-kebijakan yang memberatkan masyarakat. Pemerintah sebaiknya juga menunda kenaikan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN. Pemerintah dapat mencari alternatif sumber pendapatan lain untuk menambah penerimaan negara,” kata Koni.
Baca Juga:
Sarjan Tahir: Pajak Karbon Bisa Jadi Pilihan Daripada Naikkan PPN 12%