PajakOnline.com—Ekonom Institute for Cooperative Studies (ICS) Dr. Rino A. Sa’danoer mengatakan, seruan boikot pajak atau tidak membayar pajak yang berkembang saat ini tidak bijak. Karena dari mana pemerintah akan mendapatkan uang untuk membiayai pembangunan? Mayoritas uangnya berasal dari uang pajak kita.

“Dari mana uangnya? Ngutang ke luar negeri lagi? Apakah pemerintah akan utang terus. Uang pembangunan negeri ini sebagian besar dari pajak yang kita bayar,” kata Rino pemerhati koperasi dan pembangunan sosial ini.
Rino menjelaskan, membayar pajak adalah kewajiban kita bersama untuk mendapatkan hak. Sebagai pembayar pajak kita berhak untuk mendapatkan pelayanan yang baik dari penyelenggara negara. Pemerintah melayani kita karena kita membayar pajak. Kita punya steer. “Uang pajak kita juga dipakai untuk membayar gaji mereka,” kata Rino.
Yang terpenting, sambung Rino, adalah law in order dan law enforcement yakni kita semua sebagai masyarakat pembayar pajak harus lebih ketat untuk mengontrol, mengarahkan, dan mengawasi pemerintah sebagai pelayan publik. Para pembayar pajak dapat menuntut peningkatan pelayanan kepada pemerintah. Termasuk membersihkan para public servant ini dari prilaku koruptif dan pamer harta.
Menurut Rino, secara alami aparatur sipil negara (ASN), PNS merupakan pelayan publik yang tidak mungkin memiliki harta kekayaan hingga belasan, puluhan ataupun bertransaksi hingga ratusan miliar.
“Struktur jabatan dan gaji mereka tidak memungkinkan untuk memiliki harta belasan hingga puluhan miliar. Apabila memiliki harta sebesar itu harus diselidiki dari mana asalnya. Apabila diperoleh dengan cara tidak sah melalui korupsi atau gratifikasi maka harta itu harus dirampas untuk negara dan mereka harus menjalani proses hukum. Karena ini akan menjadi contoh bagi masyarakat,” kata Rino.
Selain itu, sambung Rino, pamer harta di kalangan public servant tidak etis karena masih banyak rakyat Indonesia yang hidupnya di bawah garis kemiskinan. Bahkan, masih ada yang miskin ekstrem. Jadi, walaupun harta kekayaan yang mereka peroleh dari warisan atau cara halal lainnya, untuk pamer harta tetap tidak etis karena sebagai ASN mereka adalah pelayan publik.
Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mendorong pemerintah terutama Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk melakukan pembersihan internal akibat sejumlah kontroversi pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC).
Ekonom INDEF Dr. Dradjad Wibowo mengatakan, pembersihan internal sangat penting dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada institusi tersebut, terutama bagi para pembayar pajak. Sebab, pemerintah masih membutuhkan pembiayaan yang sangat besar untuk membangun perekonomian, salah satunya dari penerimaan pajak.
“Ini ada blessing in disguise, saatnya bagi Kemenkeu untuk bersih-bersih supaya orang kembali percaya, karena kita semua paham bahwa trust sangat krusial. Dalam kondisi APBN mulai kehabisan nafas, Kemenkeu, terutama DJP citranya sedang anjlok, ini kesempatan untuk melakukan bersih-bersih agar orang lebih antusias membayar pajak,” katanya, dikutip hari ini.
Dia mengatakan, Kemenkeu memiliki tugas yang berat untuk bisa membersihkan gaya hidup hedonis di lingkungan pegawai institusi tersebut. “Saya pernah sampaikan di DPR, ujungnya gaji itu hanya menjadi tambahan pendapatan, tapi pola hidup dan kelakuan penyelewengan dan hedonisme akan terus berlangsung,” katanya.
Menurut Dradjad, pemberian remunerasi dalam jumlah yang besar tidak akan efektif menghilangkan penyelewengan yang dilakukan oleh pegawai di lingkungan Kemenkeu, selama sistem yang dibangun masih belum baik. “Kita tahu masih banyak PR yang harus dilakukan, jadi tolong bersih-bersih internal, dimulai dengan DJP dan DJBC terutama,” katanya.