PajakOnline.com—Mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo mengusulkan adanya Bank Data Perpajakan. Hal tersebut disampaikannya saat diundang rapat bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR RI di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (4/4/2023) kemarin. Rapat tersebut disiarkan secara online melalui TVP (TV Parlemen). Dalam rapat turut dibahas rendahnya tax ratio dan upaya meningkatkan penerimaan negara.
Hadi Poernomo yang dikenal sebagai Bapak Reformasi Perpajakan merupakan penggagas Single Identity Number (SIN) yang kini mulai diterapkan di Indonesia dalam formulasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) atau KTP sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Menurut Hadi, SIN dapat meningkatkan rasio pajak atau tax ratio. Penerapan SIN sebagai pengawasan perpajakan di dalam negeri menjadi solusi untuk meningkatkan penerimaan negara. Caranya, dengan pengawasan terhadap sumber dana hingga besaran pajak yang disetor.
“Secara sederhana, semua pihak di Indonesia wajib untuk membuka dan menyambungkan sistemnya ke pajak, termasuk yang rahasia,” kata Hadi Poernomo. Saat ini, SIN yang digagasnya sejak tahun 2001 itu telah memiliki dasar hukum. Hadi berharap mampu dijalankan secara konsisten ke depannya.
Dasar hukumnya yakni Pasal 35 A UU No 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Kemudian Pasal 1, 2, 7, dan 8 UU No. 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Dan yang terbaru adalah Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang mengamanatkan integrasi NIK sebagai NPWP.
Dari dasar hukum tersebut, kata Hadi, seharusnya pemerintah sebagai pemegang mandat Undang-Undang (UU) sudah dapat melakukan reformasi pengawasan perpajakan yang menyeluruh. Artinya, mampu mewujudkan Bank Data Perpajakan.
“Dengan SIN, semua pihak wajib membuka dan menyambungkan sistem datanya ke otoritas pajak, baik data yang rahasia maupun tidak rahasia. Dari situ lalu dilakukan analisis link and match. Dengan demikian, akan ada sistem yang memaksa semua pihak untuk jujur,” katanya.
Kalau data wajib pajak sesuai, aman. Kalau tidak, maka diimbau. Kalau masih mangkir diaudit. Kalau sistem ini sudah terjadi, maka ini akan menjadi CCTV pajak dan semua pihak menjadi jujur karena diawasi. “Ini akan meningkatkan tax ratio,” kata Hadi.
Hadi mengungkapkan, Bank Data Perpajakan ini pernah diterapkan pada masa dirinya memimpin Direktorat Jenderal Pajak (DJP) periode 2001-2006. Pada masa itu, tax ratio Indonesia selalu berada di 2 digit dan tumbuh 0,3 persen tiap tahun. Pada 2005 mencapai 12,71 persen. Padahal, saat itu belum ada payung hukum pembentukan Bank Data Perpajakan.
Pengumpulan data (Bank Data) hanya diperoleh melalui Memorandum Of Undertanding (MoU) dengan berbagai pihak lain. “Saat itu saja bisa menaikkan tax ratio hingga 12,71 persen. Sekarang sudah ada payung hukumnya pasti bisa. Kalau ada political will, pasti bisa,” tegas Hadi.
Hadi mengatakan, ada berbagai cara meningkatkan penerimaan negara. Misalnya, menaikkan tarif pajak PPN (Pajak Pertambahan Nilai) menjadi 11 persen seperti dalam UU HPP. Tahun depan, naik menjadi 12 persen. PPh (Pajak Penghasilan) juga naik menjadi 22 persen.
Sementara itu, Ketua PajakOnline Tax Payer Community Abdul Koni mengatakan, Bank Data Perpajakan jangan hanya sekadar menjadi istilah. “Yang terpenting adalah integrasi data dari setiap kementerian, termasuk koneksi online setiap transaksi wajib pajak. Maka jika sudah terintegrasi, sistem perpajakan bisa diubah menjadi official assesment,” kata Koni, mantan pemeriksa pajak Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Tetapi, sambung Koni, tetap ada hak bagi wajib pajak untuk mengklarifikasi sebelum penetapan pajak. Dengan kemajuan teknologi sekarang ini, bukan hal mustahil itu bisa terwujud.
Menurut Koni, terkait kenaikan tarif justru sebaliknya. Saat integrasi data sudah berjalan dengan baik, maka Tax Ratio akan meningkat sehingga justru bukan tidak mungkin tarif pajak bisa diturunkan karena penerimaan negara sudah sangat baik. Basis data perpajakan juga baik dan kepatuhan wajib pajak juga meningkat karena diatur dengan sistem.
“Jika sudah terwujud, maka beban masyarakat (wajib pajak) bisa dikurangi karena setiap warga negara telah bersama-sama ikut berkontribusi dalam pembayaran pajak. Namun, semua itu apakah bisa terwujud tergantung dari pihak pihak yang ‘punya kepentingan’. Dibutuhkan keberanian dari setiap pengambil kebijakan. Dan pengambil kebijakan pun harus ‘bersih’ terlebih dahulu,” pungkas Koni.
———————————————
Dalam catatan redaksi PajakOnline.com, rasio pajak atau tax ratio menjadi ukuran kinerja penerimaan pajak dalam suatu negara. Meskipun rasio pajak bukanlah satu-satunya indikator yang digunakan dalam mengukur kinerja pajak, tetapi rasio pajak hingga saat ini menjadi ukuran yang diasumsikan dapat memberi gambaran umum atas kondisi perpajakan dalam suatu negara.
Tax ratio adalah perbandingan antara penerimaan pajak secara kolektif pada suatu masa dengan Produk Domestik Bruto (PDB) pada masa yang sama. PDB ini merupakan total nilai barang dan jasa suatu negara dikurangi dengan nilai barang dan jasa yang digunakan dalam produksi.
Indonesia menggunakan dua paham perhitungan tax ratio, yakni dalam arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit adalah dengan melaksanakan perhitungan penerimaan perpajakan dari pemerintah pusat yang meliputi pajak, kepabeanan dan cukai. Sedangkan, dalam arti luas adalah menggunakan perhitungan dari Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD).
Tax Ratio Indonesia dapat dikatakan masih tertinggal dibandingkan dengan tax ratio sejumlah negara tetangga, bahkan masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan tax ratio negara-negara maju. Ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi tingkat tax ratio, yakni faktor yang bersifat makro dan faktor yang bersifat mikro. Faktor-faktor yang bersifat makro, antara lain tarif pajak, tingkat pendapatan per kapita, dan tingkat optimalisasi tata laksana pemerintahan yang baik.
Sementara, faktor-faktor yang bersifat mikro yaitu tingkat kepatuhan wajib pajak suatu negara, komitmen dan koordinasi antar lembaga negara, serta tidak ada perbedaan persepsi antara wajib pajak dengan petugas pajak.
Tingkat tax ratio pada 2017 mencapai 9,89% dan meningkat pada tahun 2018 menjadi 10,24%. Kemudian, pada tahun 2019 rasio pajak kembali menurun menjadi 9,76% dan mencapai titik terendah sebesar 8,33% pada 2020 akibat pandemi.
Tax ratio kembali meningkat pada tahun 2021 menjadi 9,12% seiring dengan pemulihan ekonomi pasca pandemi. Ke depan, tax ratio akan bergantung pada pemulihan perekonomian dalam negeri, karena penerimaan pajak suatu negara akan tumbuh apabila ekonomi kembali sehat.
Pada 2022 hingga 2023 ini, dengan adanya implementasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) mulai dari kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11%, Program Pengungkapan Sukarela (PPS), penambahan tax bracket pada PPh sebesar 35%, dan pajak karbon diperkirakan tax ratio akan kembali meningkat sampai 9,5%.
Tax ratio berpotensi mengalami peningkatan akibat adanya UU HPP yang menawarkan berbagai ketentuan yang diharapkan pula dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak, memperluas basis pajak, dan mendorong terwujudnya sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, serta akuntabel.