PajakOnline.com—Kepatuhan kooperatif atau cooperative compliance merupakan konsep hubungan antara otoritas pajak dan Wajib Pajak yang didasarkan pada kerja sama, kolaborasi, dan rasa saling percaya. Konsep cooperative compliance bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan, kepastian, dan efisiensi perpajakan, serta mengurangi risiko sengketa dan reputasi.
Selain itu, Cooperative compliance menawarkan hubungan yang lebih berbasis pada transparansi, partisipasi, keterbukaan, saling percaya, dan saling memahami antara otoritas pajak dan Wajib Pajak. Konsep ini pertama kali dikenal dengan istilah enhanced relationship, untuk membedakannya dengan obligation-based basic relationship.
Namun, istilah tersebut diganti menjadi cooperative compliance oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 2013 untuk menghindari kesan ketidaksetaraan perlakuan. Menurut OECD, cooperative compliance yaitu sebuah hubungan yang mendukung kolaborasi dan bukan konfrontasi serta lebih berdasarkan pada rasa saling percaya daripada kewajiban yang dipaksakan.
Sementara bagi Wajib Pajak, kepatuhan kooperatif diyakini dapat memberikan kepastian pajak yang lebih besar sebagai hasil dari hubungan dengan administrasi pajak yang didasarkan pada kepercayaan dan kerja sama yang berkelanjutan.
Adapun beberapa negara telah menerapkan cooperative compliance dengan berbagai cara dan hasil. Misalnya, Australia memiliki program Tax Assurance and Compliance Program (TACP) yang ditujukan untuk Wajib Pajak besar dan menengah. Dalam program tersebut memberikan kepastian pajak kepada Wajib Pajak yang memiliki tax risk management yang baik dan transparan.
Selanjutnya, ada Belanda memiliki program Horizontal Monitoring (HM) yang ditujukan untuk semua jenis Wajib Pajak. Program ini mengandalkan pada perjanjian kerja sama antara otoritas pajak dan Wajib Pajak atau asosiasi Wajib Pajak. Berbeda dengan Inggris yang memiliki program Business Risk Review (BRR), ditujukan untuk Wajib Pajak besar. Program ini memberikan penilaian risiko kepada Wajib Pajak berdasarkan kriteria tertentu.
Sementara Amerika Serikat memiliki program Compliance Assurance Process (CAP) yang ditujukan untuk Wajib Pajak besar. Program ini memberikan kepastian pajak sebelum tahun pajak berakhir melalui proses audit secara real time. Lalu Prancis, program cooperative compliance mulai diperkenalkan pada 14 Maret 2019 yang juga disambut baik oleh OECD. Pengenalan rezim kepatuhan kooperatif oleh Prancis juga mencerminkan tren yang lebih luas secara internasional di mana banyak anggota OECD baik yang telah memiliki atau sedang mengeksplorasi program kepatuhan kooperatif.
Bagi otoritas pajak, manfaat dari Cooperative compliance adalah dapat lebih memahami proses bisnis Wajib Pajak secara lebih baik, adanya kepastian hukum yang ditetapkan, menghemat sumber daya dengan mengurangi ruang lingkup audit, mendorong otoritas pajak untuk fokus pada kasus-kasus dan Wajib Pajak berisiko tinggi, mengurangi sengketa di tingkat banding, menjamin basis pemajakan, dan tercapainya compliance risk management.
Sementara bagi Wajib Pajak, manfaatnya antara lain adalah kepastian hukum perpajakan, pengurangan biaya kepatuhan, manajemen risiko perpajakan yang lebih baik, pelaksanaan proses audit yang lebih mudah, peningkatan substansial dalam hubungan dengan otoritas pajak, serta peningkatan reputasi karena telah menjadi Wajib Pajak yang patuh.
Beberapa tantangan yang dihadapi Cooperative compliance antara lain adalah kurangnya kesadaran dan pemahaman tentang konsep cooperative compliance, kurangnya keterampilan dan kapasitas otoritas pajak dan Wajib Pajak dalam menerapkan cooperative compliance, serta kurangnya kerangka hukum dan peraturan yang mendukung cooperative compliance.
Serta, kurangnya koordinasi dan komunikasi antara otoritas pajak dan Wajib Pajak, kurangnya kepercayaan dan keterbukaan antara otoritas pajak dan Wajib Pajak, kurangnya standar dan kriteria yang jelas dan objektif dalam menentukan Wajib Pajak yang layak untuk cooperative compliance, kurangnya mekanisme monitoring dan evaluasi terhadap efektivitas dan dampak cooperative compliance juga merupakan tantangan yang harus ditanggulangi dalam pengaplikasian cooperative compliance.
Di Indonesia, cooperative compliance masih merupakan konsep yang baru dan belum banyak dikenal oleh otoritas pajak maupun Wajib Pajak. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah mengeluarkan beberapa kebijakan yang berorientasi pada cooperative compliance, yaitu program Integrasi Data Perpajakan yang ditujukan untuk Wajib Pajak besar, terutama BUMN.
Ada pula terobosan lain yang diupayakan DJP sebagai bagian dari cooperative compliance yakni peluncuran e-Filing, e-Billing, e-SPT, e-Faktur, e-Formulir, dan e-Registration yang ditujukan untuk semua Wajib Pajak. Namun, kebijakan-kebijakan ini masih bersifat parsial dan belum terintegrasi secara menyeluruh.
Padahal, peluang penerapan cooperative compliance di Indonesia cukup besar, mengingat potensi penerimaan pajak yang masih belum optimal, tingkat kepatuhan Wajib Pajak yang masih rendah, serta kompleksitas peraturan perpajakan yang masih tinggi.
Tantangan yang dihadapi dalam penerapan cooperative compliance di Indonesia tidak ringan, antara lain rendahnya kesadaran dan pemahaman tentang konsep cooperative compliance, rendahnya kapasitas dan kualitas sumber daya manusia otoritas pajak dan Wajib Pajak dalam menerapkan cooperative compliance, juga rendahnya ketersediaan dan kualitas data dan informasi perpajakan.
Untuk mendorong penerapan cooperative compliance di Indonesia, diperlukan beberapa rekomendasi sebagai berikut:
– Meningkatkan sosialisasi dan edukasi tentang konsep dan manfaat cooperative compliance kepada otoritas pajak dan Wajib Pajak melalui berbagai media dan kanal komunikasi.
– Meningkatkan kapasitas dan kualitas sumber daya manusia otoritas pajak dan Wajib Pajak dalam menerapkan cooperative compliance melalui pelatihan, bimbingan, dan supervisi.
– Meningkatkan ketersediaan dan kualitas data dan informasi perpajakan melalui pengembangan sistem informasi perpajakan yang terintegrasi, akurat, relevan, dan mudah diakses.
– Meningkatkan koordinasi dan komunikasi antara otoritas pajak dan Wajib Pajak melalui pembentukan forum atau mekanisme dialog yang rutin, terstruktur, dan konstruktif.
– Meningkatkan kepercayaan dan keterbukaan antara otoritas pajak dan Wajib Pajak melalui penerapan prinsip-prinsip good governance, good faith, mutual respect, mutual understanding, mutual benefit, serta penghindaran konflik kepentingan.
– Meningkatkan standar dan kriteria yang jelas dan objektif dalam menentukan Wajib Pajak yang layak untuk cooperative compliance melalui pengembangan indikator-indikator risiko perpajakan yang sesuai dengan karakteristik usaha, sektor industri, ukuran perusahaan, serta tingkat kompleksitas transaksi.
– Meningkatkan mekanisme monitoring dan evaluasi terhadap efektivitas dan dampak cooperative compliance melalui pengembangan indikator-indikator kinerja perpajakan yang mencerminkan aspek-aspek kepatuhan, kepastian, efisiensi, serta dampak sosial ekonomi.(Kelly Pabelasary)