PajakOnline.com— Potensi pajak perkebunan sawit tergolong besar di Indonesia. Indonesia sendiri merupakan negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia, bahkan penghasil 80% dari total produksi minyak sawit dunia. Tentu saja Kelapa sawit ini dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
PPN Kelapa Sawit merupakan pajak yang dikenakan atas segala aktivitas yang berhubungan dengan industri kelapa sawit. Dengan meningkatnya angka kebutuhan dunia akan minyak sawit, tentu juga mendorong tingkat keterlibatan masyarakat akan bisnis kelapa sawit. Sehingga, pemahaman akan penerapan PPN kelapa sawit juga semakin tinggi.
Di dalam industri kelapa sawit, para pelaku industri biasanya telah memahami dan melakukan kajian terkait lokasi perkebunan yang sesuai untuk ditanami kelapa sawit.
Berikut hal yang dijadikan pertimbangan di antaranya :
- Bentuk wilayah.
- Letak dan tinggi lokasi.
- Kedalaman tanah, bahan organik, struktur, tekstur, kedalaman air tanah dan tingkat keasaman.
- Iklim meliputi temperatur, kelembaban, lama penyinaran dan curah hujan.
Selain pengkajian dari aspek teknis dan ekonomis terkait dengan infrastruktur, aspek-aspek lain yang harus diperhatikan meliputi rekomendasi dari pejabat yang berwenang, proses hukum dan perizinan dari berbagai instansi yang meliputi izin lokasi dari bupati/walikota, referensi dari dinas perkebunan dan dinas kehutanan.
Setelah lahan disiapkan, hal penting berikutnya adalah perawatan tanaman, sesuai norma yang berlaku seperti membersihkan dari rumput, memupuk tanaman dengan dosis tertentu, mencegah dan memberantas tanaman dari gangguan hama. Panen kelapa sawit membutuhkan persiapan yang baik untuk menjamin tercapainya target produksi dengan biaya panen seminimal mungkin.
Dalam industri kelapa sawit, bahan baku utama pengolahan kelapa sawit menjadi minyak mentah (CPO) adalah Tandan Buah Segar (TBS). Penerapan PPN kelapa sawit dibagi berdasarkan dua kondisi, yakni:
1. Apabila mempunyai perusahaan yang terintegrasi, yaitu memiliki perkebunan kelapa sawit sekaligus pabrik kelapa sawit.
2. Apabila mempunyai perusahaan yang tidak terintegrasi, yaitu yang tidak memiliki pabrik kelapa sawit. Perusahaan jenis ini biasanya melakukan titip olah hasil TBS, kemudian menjual hasilnya dalam bentuk CPO/produk turunan lainnya.
Dari dua kondisi diatas, penerapkan PPN kelapa sawit akan berbeda berdasarkan sesuai dasar hukum yang berlaku, yakni di antaranya:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 2007 yang menyatakan bahwa TBS telah ditetapkan sebagai Barang Kena Pajak (BKP) yang bersifat strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN.
2. Pasal 16B Ayat 3 UU PPN juga mengatur bahwa pajak masukan yang dibayar untuk perolehan BKP/perolehan JKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN tidak dapat dikreditkan.
3. Keputusan Menteri Keuangan No. 575/KMK.04/2000 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan Terutang Pajak dan Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak.
4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP)
5. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 64/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Barang Hasil Pertanian Tertentu.
Tarif PPN atas Kelapa Sawit didasarkan pada UU HPP dan PMK 64/2022, tarif PPN yang dikenakan pada kelapa sawit yakni sebesar 1,1% dari harga jual dan sudah berlaku pada April 2022 lalu. Kemudian, tarifnya akan naik menjadi 1,2% bila mengikuti kenaikan tarif PPN 12% pada tahun 2025 mendatang. (Azzahra Choirrun Nissa)