PajakOnline.com—Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, pemerintah akan melakukan reformasi belanja daerah untuk meningkatkan kualitasnya. Dengan menguatkan desentralisasi fiskal lewat mendorong alokasi sumber daya nasional secara efektif dan efisien.
Menurut Menkeu Sri Mulyani upaya ini diperjelas dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
“Kita berharap dengan HKPD ini belanja pusat dan daerah makin harmonis dan sinkron. Kita berharap pengeluaran jangka menengah itu lebih disinkronkan antara pusat dan daerah dan penganggarannya makin terpadu,” kata Menkeu Sri Mulyani dalam acara Sosialisasi UU HKPD di Pekanbaru, belum lama ini.
Menkeu menyebutkan, melalui UU HKPD hubungan antara keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah akan berjalan lebih transparan, akuntabel, dan berkeadilan sebagai bentuk pemerataan kesejahteraan masyarakat yang adil dan makmur.
Mengikuti pilar ketiga UU HKPD adalah meningkatkan kualitas belanja daerah, kata Sri Mulyani, akan diatur pengelolaan belanja daerah lewat fokus belanja, mandatory spending, pengendalian belanja pegawai, penguatan belanja infrastruktur, dan SiLPA dengan basis kinerja.
Tidak hanya itu, fokus belanja daerah juga lebih kepada layanan dasar publik untuk mencapai standar pelayanan minimal. Karenanya Sri Mulyani mengatakan terdapat mandatory spending yang tujuannya sebagai akselerasi pemerataan kualitas layanan publik dan kesejahteraan di daerah.
“Ada mandatory spending bukan tujuannya untuk tidak memberikan kepercayaan kepada daerah. Tapi memang daerah ini tujuannya untuk melayani masyarakatnya terutama di bidang pendidikan kesehatan,” kata Sri Mulyani.
Menkeu Sri Mulyani mengatakan pengendalian belanja pegawai termasuk batasan besaran belanja pegawai maksimal 30% dari APBD di luar tunjangan guru yang asalnya dari TKD, masa transisi menyesuaikan porsi belanja pegawai yaitu 5 tahun, dan fleksibilitas untuk melakukan penyesuaian setelah transisi.
Dalam UU HKPD diatur juga mengenai penguatan belanja infrastruktur. yaitu batasan besaran belanja infrastruktur pelayanan publik minimal 40% dari APBD diluar transfer ke daerah bawahan dan desa, masa transisi penyesuaian porsi belanja infrastruktur pelayanan yaitu 5 tahun, dan fleksibilitas untuk melakukan penyesuaian setelah transisi.
Optimalisasi pemakaian SiLPA non-earmarked pada belanja daerah mengikuti kinerja layanan publik daerah. Apabila kinerja layanan sudah tinggi, bisa diinvestasikan dan/atau pembentukkan dana abadi daerah. Tetapi dalam hal kinerja layanan masih rendah, diarahkan agar belanja infrastruktur pelayanan publik. (Ridho Rizqullah Zulkarnain)