PajakOnline.com—Pemerintah Indonesia telah memberikan beberapa relaksasi pajak terhadap dunia usaha untuk meringankan beban akibat bencana nasional Corona. Kebijakan relaksasi itu diberikan dalam berbagai bentuk.
Pemerintah memberikan insentif PPh Pasal 21. Kebijakan ini berlaku April 2020 sampai dengan masa pajak September 2020. Perusahaan yang menikmati insentif ini harus memenuhi syarat telah memiliki kode klasifikasi lapangan usaha yang tercantum dalam Peraturan Kementerian Keuangan. Perusahaan itu telah ditetapkan sebagai perusahaan KITE (Kemudahan Impor Tujuan Ekspor). Insentif tersebut berlaku untuk pegawai yang memilliki NPWP dan menerima penghasilan bruto bersifat tetap tidak lebih dari Rp200 juta.
Ada juga insentif PPh Pasal 22 Impor. Perusahaan dapat menikmati PPh Pasal 22 Impor selama 6 bulan. Kemudian insentif Angsuran PPh Pasal 25. Relaksasi pengurangan PPh Pasal 25 sebesar 30% selama 6 bulan. Insentif berikutnya, wajib pajak atau perusahaan yang bergerak di bidang eksportir dan non eksportir, dapat memanfaatkan insentif PPN berupa percepatan restitusi selama 6 bulan.
Perusahaan juga menikmati penurunan tarif umum PPh Badan yang semula 25%, menjadi 22% untuk tahun pajak 2020 dan 2021, lalu menjadi 20% pada tahun pajak 2022. Jangka waktu penyampaian permohonan keberatan oleh wajib pajak diperpanjang paling lama 6 bulan. Jangka waktu atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 17B diperpanjang paling lama 6 bulan.
Semua insentif dan relaksasi yang diberikan pemerintah tertuju pada perusahaan-perusahaan besar. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan pemberian insentif pajak di tengah pandemi Covid-19 akan dilakukan dengan hati-hati. Pemerintah memberikan insentif berdasar kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak.
Kebijakan pajak pemerintah dalam situasi bencana nasional Corona dinilai diskriminatif. Fakta di lapangan, semua sektor ekonomi terdampak Corona baik secara langsung atau susulannya.
Kebijakan pemberian fasilitas yang diberikan negara kepada rakyatnya dengan membedakan tingkat kepatuhan wajib pajak itu dinilai sudah tidak relevan.
Anggota Komisi XI DPR, Misbakhun menilai, Jika kebijakan diskriminatif itu diberlakukan, dikhawatirkan sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) tak akan tertolong. UMKM sendiri selama ini diidentikkan sebagai kelompok yang kurang patuh dari sisi surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak ataupun aturan formal lainnya.
Pemerintah menilai, wajib pajak yang patuh adalah pengusaha besar, holding company ataupun sektor usaha yang sedang menjadi primadona perekonomian.
“Dan perusahan besar itu, selama ini banyak mendapatkan fasilitas dari konsesi, kredit bank, obligasi, restitusi dipercepat, fasilitas impor pabean, fasilitas bonded zone,” ujar Misbakhun kepada PajakOnline.com
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan memiliki pandangan yang sama dengan Misbakhun. Dia setuju, pemerintah seharusnya berlaku adil memberikan insentif kepada semua pelaku usaha, baik itu besar dan kecil, termasuk di dalamnya UMKM. Dia punya julukan sendiri terhadap pemerintah.
“Memang rezim konglomerat. Setuju dengan pendapat di atas (Misbakhun-red),” ujar akademisi yang pernah menjadi Rektor Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie.
Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira menilai kepatuhan pajak memang penting, tapi harusnya dalam kondisi darurat, baik pelaku UMKM dan korporasi besar disamakan stimulusnya.
“Ini kan PPh badan sudah turun bertahap menjadi 17% untuk wajib pajak dalam negeri hingga 2023. Tapi PPh UMKM tidak diturunkan menjadi 0%. Jangan sampai diskriminatif. Padahal UMKM terdampak Corona juga,” tegasnya.
Baca Juga: Insentif Pajak untuk Pengusaha Perlu Juga Diberikan ke Sektor UMKM
Sikap pemerintah yang diskriminatif menurut Bhima muncul karena model pemerintahan yang kapitalistik. Model pemerintahan seperti itu, pasti mendahulukan kepentingan korporasi. Dan sebenarnya, pola seperti itu sudah terjadi sejak paket kebijakan 1-16 pada periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi. Isinya, insentif buat perusahaan besar tapi efek ke serapan tenaga kerja juga tidak maksimal.
“Inilah ketimpangan kebijakan, pelaku usaha mendapatkan banyak fasilitas padahal tidak ada jaminan setelah mendapatkan insentif tidak melakukan PHK,” ungkapnya.