PajakOnline.com—Direktorat Jenderal Pajak (DJP) saat ini sedang menyusun peraturan baru untuk merevisi ketentuan mengenai sistem blokir otomatis (Automatic Blocking System/ABS) yang diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak PER-24/PJ/2017.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti mengungkapkan, revisi peraturan tersebut masih dalam tahap pembahasan. Perubahan ini diperlukan sebagai tindak lanjut dari penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 61 Tahun 2023 yang mengatur implementasi ABS berbasis data utang pajak.
PMK 61/2023 diterbitkan untuk menggantikan PMK 24/2008 sebagaimana telah diubah dengan PMK 85/2010 yang mengatur tata cara pelaksanaan penagihan dengan surat paksa serta penagihan seketika dan sekaligus.
Selain itu, PMK 61/2023 juga menggantikan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 563 Tahun 2020 mengenai pemblokiran dan penyitaan harta kekayaan penanggung pajak yang tersimpan di bank dalam rangka penagihan pajak dengan surat paksa.
Melalui PMK 61/2023, pemerintah diberikan wewenang untuk membatasi atau blokir pemberian layanan publik kepada penunggak pajak. Pasal 146 ayat (1) huruf a dari PMK 61/2023 menyatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat memberikan rekomendasi atau mengajukan permohonan pembatasan atau pemblokiran layanan publik tertentu terhadap penanggung pajak yang tidak melunasi utang pajak beserta biaya penagihannya.
Rekomendasi atau permohonan ini dapat dilakukan dengan memenuhi beberapa ketentuan, yakni layanan publik yang dimaksud diselenggarakan oleh instansi pemerintah, surat paksa telah diberitahukan kepada penanggung pajak, dan tindakan tersebut dilakukan berdasarkan usulan dari pejabat yang melakukan penagihan.
Dirjen Pajak memiliki kewenangan untuk merekomendasikan pemblokiran akses kepabeanan kepada dirjen bea dan cukai jika wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya. Ini berarti, meskipun hanya terbatas pada akses kepabeanan, rekomendasi tersebut dapat diberikan jika wajib pajak tidak melunasi utang pajaknya.
Tujuan utama dari revisi peraturan ini adalah untuk meningkatkan efektivitas penagihan pajak dengan memanfaatkan teknologi dan data yang lebih akurat. Sistem pemblokiran otomatis yang diperbarui akan memungkinkan identifikasi lebih cepat terhadap penunggak pajak, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Revisi ini juga bertujuan untuk melindungi kepentingan negara dengan memastikan penerimaan pajak yang optimal dan mencegah praktik penghindaran pajak.
Meskipun demikian, implementasi revisi ini menghadapi beberapa tantangan, seperti memastikan infrastruktur teknologi yang memadai untuk mendukung sistem pemblokiran otomatis yang baru, termasuk integrasi data dari berbagai instansi dan pengamanan data.
DJP juga perlu melakukan sosialisasi dan edukasi kepada wajib pajak mengenai perubahan peraturan ini agar tidak terjadi kebingungan dan resistensi. Selain itu, koordinasi yang baik antara DJP, Dirjen Bea dan Cukai, serta instansi pemerintah lainnya diperlukan untuk memastikan pelaksanaan yang efektif dan efisien.
Bagi wajib pajak, sistem yang baru diharapkan dapat memberikan kemudahan akses informasi mengenai status kewajiban pajak mereka dan tindakan apa yang perlu diambil untuk menghindari sanksi. Dengan sistem yang lebih transparan dan berbasis data, keterbukaan dan akuntabilitas DJP dalam menjalankan tugasnya juga dapat meningkat, memberikan rasa keadilan bagi wajib pajak.
Selain itu, sistem blokir otomatis ini diharapkan dapat mengurangi beban administratif baik bagi DJP maupun wajib pajak, dengan proses yang lebih cepat dan efisien. Dengan demikian, revisi peraturan ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan efektivitas penagihan pajak, tetapi juga untuk memberikan manfaat bagi semua pihak yang terlibat.