PajakOnline.com—Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berencana memajaki transaksi mata uang kripto atau cryptocurrency seperti bitcoin, etherium, dan lain-lain yang saat ini sedang populer.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Suryo Utomo mengungkapkan, wacana penarikan pajak dari mata uang kripto masih terus dikaji. Mata uang kripto merupakan perluasan objek pajak baru yang jenis pajaknya masih harus ditentukan sesuai dengan model bisnis kripto.
Baca Juga: Pemilik Wajib Laporkan Keuntungan Bitcoin dalam SPT Tahunan
“Kripto ini sesuatu barang baru. Nah untuk kripto ini sendiri kami sedang terus melakukan pendalaman, seperti apa, sih, model bisnis kripto ini,” kata Suryo dalam media briefing di Gedung DJP, Jakarta, Senin (10/5/2021).
Suryo menuturkan, pihaknya masih mengkaji apakah mata uang kripto masuk ke dalam kategori barang/jasa yang perlu dipajaki atau produk pengganti uang. “Kalau kita bicara UU pajak, atau UU yang paling sederhana UU PPh dan UU PPN. UU PPN pasti yang dikenakan adalah barang dan jasa yang masuk kepabeanan. Apakah kripto ini termasuk barang dan jasa, apakah dia ini sebagai pengganti uang atau bukan?,” kata Suryo.
Kendati demikian, Suryo memberi kisi-kisi bahwa mungkin saja pajak atas mata uang kripto dihitung berdasarkan keuntungan yang diperoleh investor. Misalnya, ketika investor berinvestasi Rp1 juta kemudian mendapat Rp3 juta, maka investor itu mendapat keuntungan Rp2 juta. Keuntungan inilah yang akan dikaji skema dan sistem pemajakannya.
“Apakah Rp3 juta ini betul-betul sesuatu yang kita bisa tukarkan dengan uang nyata? Diskusi mengartikan Rp3 juta itu dapat ditukar dengan uang nyata. Lalu bagaimana majakinnya? Nanti kita bahas majakinnya begini, nanti kita potong atau kita pungut,” kata Suryo.
Sebelumnya dalam pemberitaan media ini, Pemilik atau investor yang bertransaksi dalam cryptocurrency seperti Bitcoin, dan mata uang digital lainnya yang berharga wajib melaporkan penghasilan keuntungan yang diperoleh dalam SPT Tahunan.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor mengatakan, DJP berpedoman pada Pasal 4 Undang-Undang (UU) Pajak Penghasilan (PPh) yang menjelaskan bahwa penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak (WP), baik berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan WP yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun.
“Dengan demikian, bila keuntungan dari cryptocurrency masuk dalam definisi tersebut berarti merupakan objek pajak dan harus dilaporkan pada SPT Tahunan,” kata Neil saat dihubungi PajakOnline.com.
Neil menerangkan, adapun pelaporan dan cara pengisian SPT atas keuntungan yang diperoleh dilakukan oleh WP itu sendiri sesuai dengan system yang dianut yaitu Self Assessment System, merupakan salah satu sistem pemungutan pajak yang berlaku di negara kita (Indonesia), di mana sistem ini mengatur penentuan besaran pajak yang perlu dibayarkan oleh wajib pajak bersangkutan secara mandiri.
Apabila yang bersangkutan bukan karyawan maka dapat menggunakan SPT Tahunan (e-filing) formulir 1770. Untuk penghitungan pajak atas keuntungan hasil cryptocurrency atau Bitcoin, dan sejenisnya tersebut tetap menggunakan perhitungan sebagaimana diatur dalam pasal 17 UU PPh.