PajakOnline.com—Aturan hukum pidana perpajakan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). namun demikian, khusus untuk hukum pidana di bidang perpajakan, berlaku ketentuan lex specialis derogat legi generalis atau ketentuan yang khusus mengesampingkan ketentuan yang umum.
Dalam hukum pidana perpajakan, terdapat unsur kesalahan sebagai salah satu syarat penjatuhan sanksi pidana, berupa perhubungan keadaan jiwa pelaku terhadap perbuatannya.
Kondisi ini dikenal dengan mens rea berupa niat pelaku, baik berupa kealpaan (culpa) dan kesengajaan (dolus) dalam melakukan suatu perbuatan yang dilarang.
Mengenai bentuk kesalahan karena kelalaian, tindak pidana perpajakan karena kelalaian ini diatur dalam dua Undang-undang yakni;
1. Pasal 38 dan Pasal 41 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) s.t.d.t.d UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
2. Pasal 24 UU Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB). Misalnya, dalam Pasal 24 UU PBB disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kelalaian, adalah perbuatan yang dilakukan secara tidak sengaja, lalai, dan kurang hati-hati sehingga perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi negara.
Dengan demikian, dalam doktrin hukum pidana, kelalaian yang dapat dijatuhkan sanksi pidana adalah culpa lata, yaitu kelalaian dengan kadar kurang hati-hati sangat besar. Sedangkan, perbuatan kelalaian di bidang perpajakan yang digolongkan culpa levis, yaitu merupakan kelalaian dengan kadar rendah, tidak dijatuhkan sanksi pidana.
Aneka bentuk kelalaian dalam bidang perpajakan
Tindak pidana perpajakan karena kelalaian, diatur dalam Pasal 38 UU KUP. Bentuknya, antara lain kelalaian dalam bentuk tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan dan menyampaikan SPT tahunan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar.
UU KUP juga mengatur mengenai bentuk tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh pejabat. Hal ini diatur dalam Pasal 41 ayat (1) UU KUP. Sebagai informasi, pejabat yang dimaksud adalah petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan.
Pada Pasal 41 ayat (1) UU KUP, pada intinya menyebutkan bahwa tindak pidana perpajakan dapat terjadi jika pejabat lalai, tidak hati-hati atau kurang mengindahkan, sehingga melanggar kewajiban untuk merahasiakan keterangan, atau bukti berkaitan dengan Wajib Pajak yang dilindungi UU di bidang perpajakan.
Adapun ketentuan itu dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum, serta menjamin kerahasiaan data dan keterangan Wajib Pajak yang berkaitan dengan pelaksanaan UU di bidang perpajakan.
Kelalaian yang dilakukan oleh pejabat yang dimaksud, berkaitan erat dengan Pasal 34 ayat (1) hingga (2a) UU KUP. Aturan tersebut berbunyi:
– Ayat (1), Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
– Ayat (2), Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
– Pasal 34 ayat (2a) menyebutkan, ada dua pihak yang dikecualikan dari pengenaan sanksi yang diatur dalam Pasal 34 ayat (1) dan (2) UU KUP, antara lain pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan; pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi.
Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara. Bentuk hukum pidana perpajakan karena kealpaan, juga diatur dalam UU PBB, tepatnya pada Pasal 24. Sejatinya, aturan yang tertera dalam Pasal 24 UU PBB ini mirip dengan aturan yang tertera Pasal 38 UU KUP.
Dalam Pasal 24 UU PBB disebutkan, sanksi pidana dapat dijatuhkan terhadap dua perbuatan, yaitu:
– Tidak mengembalikan/menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
– Menyampaikan SPOP, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan/atau melampirkan keterangan yang tidak benar. Atas dua perbuatan karena kelalaian ini, sanksi pidana dapat dijatuhkan apabila perbuatan yang dimaksud menimbulkan kerugian bagi negara.